Pilih ahlusunah atau Syiah? Jawabannya sudah jelas, tergantung siapa yang ditanya. Kedua kelompok punya ribuan kitab yang dapat menjawab bahwa mazhab merekalah yang paling benar. Tapi pada saat yang sama, ada orang-orang bodoh yang menghakimi mazhab lain tanpa ilmu. Akibatnya kita jadi mudah mengecam dan menyebarkan kebencian tentang mazhab lain hanya untuk menambah pertumpahan darah di antara umat Islam.

Raya Shokatfard mencari sendiri jawaban atas pertanyaan tersebut. Raya kembali dari perjalanannya selama empat minggu di negara Iran. Sebagian besar waktunya dihabiskan di kota Qom, yang dikenal sebagai kotanya para ulama Syiah dan surga bagi para peneliti. Ini adalah perjalanan kedua Raya setelah meninggalkan negara kelahirannya selama 32 tahun: Iran.

Hijrah dari Islam menuju Islam

Keluarga Raya pindah ke Amerika Serikat sekitar tahun 1969. Kehidupan yang baru memaksanya untuk melupakan kehidupan yang lama, terutama yang berkaitan dengan agama. Islam tinggalah nama. Setelah bertahun-tahun menikmati kesenangan duniawi dan sukses secara finansial, Raya mulai menyadari dunia yang hampa. Dia berharap adanya suntikan spiritual. Perjalanannya dimulai dengan mencari agama yang tepat.[1]

Tanpa disadari, Raya menjadi muslim ahlusunah di Amerika Serikat. Alasannya sederhana: ahlusunah adalah mazhab mayoritas muslim di dunia. Raya tidak ada masalah dengan hal itu, meskipun ia dibesarkan sebagai pengikut Syiah sampai berusia 22 tahun.

Kejutan pertama dalam hidup

Pernikahan keduanya dilalui bersama seorang syekh salafi asal Mesir. Raya beruntung punya kesempatan untuk belajar Islam dari ulama. Tapi ketika mengikuti salah satu ceramahnya di New York, Raya mendengar suaminya berkata kalau pengikut Syiah adalah orang kafir dan musyrik. Kehidupan Raya terguncang. Dia mempertanyakan sikap suaminya. Apakah suaminya menganggap orang tua dan keluarga Raya sebagai orang-orang kafir?

Suaminya mengatakan kalau pengikut Syiah berdoa kepada para imam, bukan kepada Allah. Itulah yang dianggapnya sebagai syirik. Sebagai informasi, para imam Syiah adalah Ali—sepupu dan menantu nabi—putranya Hasan dan Husain serta sembilan orang keturunan Husain.[2] Syiah percaya bahwa Ali adalah pelanjut dan penerus sah setelah nabi dan mereka menolak suksesi Abu Bakar, Umar, dan Utsman.

Sewaktu dulu di Iran, tidak pernah terlintas dalam benak Raya untuk berdoa kepada selain Allah. Tentu, banyak pengikut Syiah yang berharap, memohon kepada para imam—sebagai wasilah—ketika berdoa.

Raya merasakan adanya kesalahpahaman dan kurangnya informasi. Keinginannya untuk mencari dan menggali lebih dalam tentang perbedaan suni-Syiah semakin besar.

Ikuti kelanjutan kisah Raya dalam mencari apa yang diyakininya sebagai kebenaran dalam serial artikel Dilema Suni-Syiah. Kisah ini disajikan ulang dalam Bahasa Indonesia atas persetujuan Raya Shokatfard.

Catatan:

[1] ^ Film dokumenter berikut menceritakan tentang bagaimana Raya Shokatfard kembali pada agama Islam. Their Gods Brought Me Back to Islam. YouTube.

[2] ^ Syiah yang dimaksud adalah Syiah Dua Belas Imam (Imamiah).

3 respons untuk ‘Dilema Suni-Syiah (1): Kafirkah Keluarga Saya?

    1. Video pada Catatan [1] di atas menjelaskan bahwa saat mengalami kehampaan spiritual, dia mempelajari berbagai agama/keyakinan mulai dari Hindu, new age, hingga mengajarkan Injil. Saya tidak ingin mengatakan dia pernah murtad.

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.