Para ulama Syiah meminta Raya membaca hadis dan sejarah untuk memahami betapa pentingnya kedudukan para imam ahlulbait. Raya mulai yakin bahwa mereka merupakan pribadi-pribadi yang suci dan penting. Tapi sampai di mana batasannya? Ada sebuah hadis sahih dari nabi yang membuat Raya terkejut mengenai kedudukan para imam. Hadis yang sebenarnya sudah pernah Raya dengar sebelum datang ke Iran, yaitu hadis tsaqalain atau dua pusaka.
“Ketika kembali dari haji wadak (perpisahan), Rasulullah saw. menyusuri Ghadir Khum dan memerintahkan pengikutnya menuju pohon-pohon besar. Kemudian beliau berkata, ‘Aku akan memenuhi panggilan (Tuhanku). Sungguh aku tinggalkan pada kalian dua pusaka berharga, yang satu lebih besar dari yang lain: Kitab Allah dan keluargaku. Perhatikanlah bagaimana perlakuan kalian terhadap keduanya sepeninggalku, karena keduanya tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di telaga Al Haudh.”
Kemudian beliau saw. bersabda, “Sungguh Allah yang Mahakuasa adalah maulaku and aku adalah maula bagi seluruh mukmin.” Kemudian beliau mengangkat tangan Ali r.a. dan bersabda, “Dia (Ali) adalah maula bagi siapapun yang menjadikan diriku sebagai maulanya. Ya Allah, cintailah mereka yang mencintai Ali dan bencilah mereka yang membenci Ali.”
Riwayat hadis di atas tercatat dalam berbagai bentuk kalimat dan semuanya tertulis dalam kitab hadis ahlusunah yang otentik.[1]
Raya pernah menunjukkan hadis itu pada suaminya di Uni Emirat Arab. Suaminya terpojok dan mengakui kalau riwayat tersebut sahih. Raya tahu suaminya benci untuk mengakuinya, tapi dia bertanggung jawab di hadapan Allah untuk mengatakan kebenaran. Suaminya tidak hanya seorang hafiz Quran tapi juga penghafal dan ahli dalam kitab hadis suni yang enam (kutubusitah). Dia terus mengalihkan pembicaraan dan tidak menjawab pertanyaan istrinya. Dia hanya mengulang riwayat lain yang sering kali dikutipkan oleh pengikut ahlusunah:
“Wahai manusia! Aku tinggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian pegang erat, kalian tidak akan tersesat selamanya: Kitab Allah dan sunah nabi-Nya.”[2]
Andai kedua riwayat tersebut sahih, kenapa kita tidak bisa menerima keduanya? Mengapa suni hanya mengutip riwayat yang kedua dan Syiah hanya meyakini yang pertama? Raya kemudian mengerti bahwa para imam ahlulbait adalah orang-orang yang memegang teguh Quran dan sunah yang datang langsung dari keluarga nabi. Lalu, bukankah seharusnya tidak terjadi pertentangan?
Akan tetapi, mereka yang mengaku ahlusunah terus menunjukkan bahwa dalam hadis dua pusaka, nabi hanya bermaksud agar orang-orang berpegang pada Quran dan bukan keluarganya. Padahal dalam banyak riwayat disebutkan keduanya yang dalam bahasa Arab disebutkan bihima.
Pengikut Syiah, di sisi lain, mencoba membuktikan bahwa hadis “kitab Allah dan sunah” merupakan karangan para periwayat yang dikenal sebagai pembohong atau memiliki ingatan yang lemah. Lebih jauh, mereka mengklaim bahwa hadis tersebut diciptakan oleh Dinasti Umayyah yang dikenal memiliki permusuhan kepada keluarga nabi. Syiah percaya riwayat tersebut diciptakan untuk menutupi dan merendahkan urgensitas keluarga nabi.
Potongan teka-teki itu baru dapat dipahami beberapa tahun kemudian setelah Raya mempelajari lebih dalam peristiwa sejarah pasca wafatnya Nabi Muhammad saw. Raya sependapat dengan para ulama di Qom bahwa riwayat hadis pertama adalah sahih dan kedudukan keluarga nabi di sisi Allah satu tingkat di bawah kitabullah.
Tapi tak berselang lama, para ulama Syiah tahu kalau Raya tidak lagi sependapat dengan mereka.
Ikuti kelanjutan kisah Raya dalam mencari apa yang diyakininya sebagai kebenaran dalam serial artikel Dilema Suni-Syiah. Kisah ini disajikan ulang dalam Bahasa Indonesia atas persetujuan Raya Shokatfard.
Catatan:
[1] ^ Tulisan berikut menjelaskan berbagai riwayat dan sumber hadis di atas. Some Sahih Versions of the Hadith. Al-Islam.org.
[2] ^ Ibnu Musa Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, vol. 10, hal. 114, hadis no. 20123