Raya Shokatfard berada di kota Qom, Iran, selama beberapa bulan. Banyak kesempatan yang dimilikinya untuk membaca dan berdiskusi tentang Syiah dan perbedaannya dengan ahlusunah. Tapi selama ini, Raya baru mendengar dari satu sisi. Setiap orang bisa saja terpengaruh jika menghadapi ulama dengan logika yang kuat. Raya memang sependapat dengan peristiwa dalam sejarah yang menyebabkan perpecahan di antara dua mazhab. Tapi, adakah cerita dari sisi yang lain?
Raya punya harapan besar untuk membawa perdamaian antara suni dan Syiah. Namun mungkinkah semua itu terjadi? Raya teringat mantan suaminya yang tak henti-hentinya menyebarkan kebencian kepada Syiah. Bukan hanya suaminya; banyak muslim ahlusunah melakukan hal yang sama. Tapi Raya juga mendapati segelintir ulama Syiah melakukan hal serupa.
Satu hal yang sangat berbeda di antara kedua mazhab adalah orang awamnya. Raya melihat sebagian besar pengikut ahlusunah membicarakan hal negatif tentang Syiah. Padahal tuduhan mereka terhadap Syiah tidak akurat. Hal itu karena mereka sama sekali tidak meneliti, tetapi hanya mengulang apa yang “ulama” mereka katakan.
Di sisi lain, banyak penganut Syiah mengatakan hal yang baik-baik tentang ahlusunah. Mereka, misalnya, mengatakan “suni lebih baik dari kami” atau “kami menghormati pengikut ahlusunah”. Tapi ketika Raya berargumen kepada mereka tentang perilaku atau keyakinan pengikut Syiah yang tidak sesuai dengan Islam, mereka menuduh Raya sebagai suni yang berpura-pura sebagai Syiah.
Beberapa tahun kemudian, sebaliknya, Raya dituduh oleh beberapa pengikut ahlusunah sebagai penganut Syiah yang menyamar. Bagi Raya, semua itu tidak masalah. Allah lebih tahu tentang dirinya dan perjuangannya untuk mengetahui lebih banyak tentang suni dan Syiah.
Saatnya memulai penjelajahan
Setelah beberapa bulan di Iran, Raya merasa sudah saatnya untuk berdiskusi dengan ulama ahlusunah. Suriah menjadi negara pertama yang terlintas di benak Raya. Raya langsung menemui mufti Suriah. Dia menerima Raya dengan hangat dan menjawab banyak pertanyaan. Tapi Raya merasa sang mufti tidak berbicara bebas karena berada di bawah pengawasan pemerintahan yang berhubungan baik dengan Iran. Mufti itu sama sekali tidak berbicara hal negatif tentang Syiah.
Raya sempat bertanya, mengapa ahlusunah tidak memasukkan ajaran Imam Ali dan Imam Jafar (imam keenam Syiah) ke dalam fikih, padahal mereka dikenal sebagai bapak fikih dan usul fikih? Bahkan dua imam ahlusunah, yaitu Abu Hanifah dan Imam Malik, menjadi muridnya. Mufti itu mengambil kitab Nahjul Balaghah yang berisikan kumpulan ucapan Imam Ali. Kitab tersebut, katanya, diajarkan di universitas mereka. Tapi, mufti suni itu tidak menjawab perihal Imam Jafar.
Raya menilai mufti tersebut berat sebelah. Raya ingin mencari seseorang yang tidak berhubungan dengan pemerintah. Raya kemudian diberi tahu untuk bertemu seorang syekh yang dikenal memiliki kebencian pada orang-orang Syiah.
Seseorang mengatakan kepada Raya cara untuk bertemu dengan syekh tersebut dengan berdiri di depan masjid tempat dia biasa berkhotbah malam Jumat. Raya melakukannya, dan… ketika khotbahnya usia, Raya dihantam oleh ratusan orang yang keluar dari masjid bersamaan. Sang syekh melenggang dikelilingi oleh penjaga yang mengantarkannya ke mobil yang sudah menunggu.
Raya menangis. Seorang pemuda bertanya mengapa dirinya berdiri di sana dan membahayakan diri sendiri. Setelah bercerita, pemuda itu mengantarkan Raya ke rumah syekh tersebut. Ketika syekh itu tahu kalau Raya berasal dari Iran, kesempatan untuk bertemu dengannya hilang. Pertanyaan bisa disampaikan melalui email dan akan dijawab, katanya. Raya mengirimkan email-nya. Firasat mengatakan jawaban tidak akan pernah diterima.
Benar saja, tidak pernah ada jawaban.
Ikuti kelanjutan kisah Raya dalam mencari apa yang diyakininya sebagai kebenaran dalam serial artikel Dilema Suni-Syiah. Kisah ini disajikan ulang dalam Bahasa Indonesia atas persetujuan Raya Shokatfard.