Setiap Kamis sore, awal akhir pekan di Arab Saudi, anak-anak sekolah berkumpul di mal Euromarche, Riyadh. Tujuan utamanya satu: toko CD mainan. Harganya sekitar 20 Riyal; setara dengan Rp70 ribu. Harga murah dan kualitas sampul yang jelek mencerminkan CD mainan yang dijual ialah bajakan. Tapi siapa yang peduli? Anak-anak tetap senang bisa mendapatkan game terbaru.
Minggu depan sebelum pelajaran sekolah di mulai, anak-anak bercerita soal game yang dimainkan. Mulai dari hal-hal menegangkan yang dilakukan di Grand Theft Auto hingga adegan telanjang Raiden di Metal Gear Solid 2. Mereka sudah saling terikat satu sama lain: berbagi taktik, kode curang (cheat code) permainan, hingga meminjamkan CD mainan.
Tapi agama memang tidak bisa dipisahkan dari budaya Arab Saudi. Agama juga mempengaruhi anak-anak bermain video game. Obrolan tentang game, gulat, dan musik (High School Musical sangat digemari) tidak berlaku di kelas agama. Guru agama mengambil kesempatan tersebut untuk menukarkan dogma mereka ke anak-anak—termasuk tentang game. Misal, guru agama mengatakan kalau Pokémon merupakan perwujudan nama-nama iblis.
Suatu ketika, seorang guru mendengar obrolan siswa tentang Devil May Cry 3. Hussain Almahr, salah seorang siswa, ditanya tentang game itu dan kenapa ada kata ‘devil’ setan. Hussain langsung saja bergurau kalau permainan itu tentang bagaimana melawan setan. “Karakternya ada manusia dan iblis,” katanya. Gurunya terkejut dan meminta mainan itu dibawa ke sekolah untuk dihancurkan.
Sebenarnya Hussain tidak terlalu menaruh perhatian soal agama di sekolah; karena tidak seperti teman sekelas dan gurunya, Hussain seorang penganut Syiah. Arab Saudi adalah negara mayoritas ahlusunah. Suni dan Syiah memang mazhab dalam Islam, tapi keduanya terlibat konflik sejak wafatnya nabi. Keluarga Hussain pindah dari provinsi bagian Timur, tempat mayoritas Syiah hidup di Arab Saudi.
Orang tua meminta Hussain untuk menjaga rahasia soal keyakinannya itu. Awalnya, Hussain tidak terlalu mengerti. Tapi makin lama, ia makin sadar. Gurunya di sekolah pernah mengatakan kalau pengikut Syiah lebih buruk dari orang-orang kafir. Kebohongan itu disebarkan untuk menjadikan Syiah terlihat jahat di mata anak-anak yang mudah terpengaruh.
Sampai suatu hari, teman-teman mendengar soal keyakinan Hussain, karena orang tua temannya mengenal ayah Hussain. Hussain mencoba menyangkal ketika ditanya; takut kalau dirinya dikucilkan. Sejak saat itu, teman dekatnya menjauh, rekan kelasnya menghindar. Husain mengalami masa-masa sulit karena kehilangan banyak teman. Hussain harus berpura-pura sakit atau terluka untuk menghindari sekolah. Hussain tidak mau menjadi anak buangan di sekolahnya.
Seorang guru mengancam Hussain untuk tidak meluluskannya di kelas Quran, hanya karena dia Syiah. Teman kelasnya mengajaknya untuk berkelahi. Tapi ketika Hussain melaporkannya ke guru, mereka meminta Hussain untuk tidak menghasut dan memprovokasi. Nilai pelajarannya anjlok.
Untung, Hussain masih terbantu melewati masa-masa sulit bersama segelintir teman. Bermain video game sangat membantu Hussain. Baginya, game tidak berubah; tidak menolak atau mengabaikannya. Game membuat teman-temannya saling memahami mazhab satu sama lain. Mereka menjadi terhubung lebih dalam karena memiliki kesamaan hobi.
Teman-teman Hussain beragam. Ada yang dari keluarga kerajaan, terpandang, ada yang miskin, dan terakhir Hussain karena berasal dari keluarga Syiah. Tapi semakin dewasa, segalanya semakin baik. Teman-teman mulai bisa menerima Hussain, kembali berteman dengan sahabatnya yang lama. Semua karena mereka sama-sama hobi main game.
Semester terakhir sebelum pindah ke Amerika Serikat, Hussain berkumpul dengan teman-teman dekatnya. Mereka menyelinap masuk masjid saat makan siang. Hussain mengatakan hal yang sebenarnya: bahwa dirinya penganut Syiah. Sesaat suana menjadi hening, cukup lama. Hussain sudah berniat untuk membalikkan badan. Sebelum akhirnya, temannya berkata, “Kami tahu, kami tidak peduli,” “Kita berteman dan itu yang penting,” dan akhirnya, “Kita bersaudara.”
Selengkapnya:
Almahr, Hussain (11 November 2016). “How Games, Piracy, and Religion Come Together in Saudi Arabia.” waypoint.vice.com