Tahun 2005, Faiyaz Jaffer, mahasiswa baru di Universitas Stony Brook, masuk ke ruang salat Jumat di kampusnya. Jaffer melakukan salat seperti biasa, bersama dengan Asosiasi Mahasiswa Muslim (MSA). Jaffer membiarkan tangannya lurus, tidak sedekap seperti yang lain. Dia juga menggunakan turbah, sebuah gumpalan tanah tempatnya sujud. Selesai salat, sekelompok mahasiswa suni mendekatinya. “You’re not welcome over here. Jangan gunakan ruangan ini lagi, jika masih salat seperti itu,” kata mereka.
Saat itulah Jaffer menyadari makna menjadi minoritas dalam minoritas. Meski pernah diejek saat sekolah karena keyakinannya, Jaffer berharap perguruan tinggi akan berbeda. Sejak peristiwa itu, Jaffer menjauh dari MSA selama dua tahun. Dia tetap salat, namun melakukannya sendirian di perpustakaan atau gedung humaniora. Sanaa Nadim, rohaniwan muslim senior di Stony Brook, mengetahui insiden itu beberapa hari setelahnya. Nadim merespon dengan memberikan ceramah kepada mahasiswa muslim tentang persatuan. “Selama kalian di hadapan saya, tidak ada perbedaan antara Syiah, suni… Program asosiasi dan ruang salat ini milik semua orang.”
Tekad Jaffer untuk perubahan
Bagi Jaffer, pengalaman di kampus itu tetap saja membekas. “Saya tidak ingin anak-anak saya mengalaminya,” kata Jaffer. Jaffer dan istrinya tahu anak-anak mereka menghadapi islamofobia; jangan sampai mereka menghadapi diskriminasi berikutnya sebagai Syiah. Lahir pada tahun 1987, Jaffer kini dikenal sebagai Syekh Faiyaz oleh pengunjung Islamic Center Universitas New York. Jaffer ditunjuk secara khusus mewakili komunitas Syiah. Jaffer menyadari posisi uniknya sebagai salah seorang ulama Syiah Amerika. Kebanyakan ulama Syiah di AS lahir di tempat lain dan tidak selalu berbagi pengalaman yang sama dengan murid-muridnya.
Orang tua Jaffer, dibesarkan dalam komunitas imigran India di Kenya, cukup taat. Tapi sejak kecil, Jaffer merasa “kutu buku” soal agama. Di kampus, dia menuangkan teks dan studi agama ke jurusan ilmu politiknya. Jaffer juga belajar dan lulus dari hauzah Karbala, Irak, dan menjadi seorang fakih Syiah. Di pusat keislaman yang dipimpinnya di Long Island, Jaffer berbicara tentang isu yang menarik minat remaja Syiah, seperti kesehatan mental dan ketidakadilan ekonomi. “Saya perlu berbicara kepada anak muda yang hidup dengan tantangan yang mereka hadapi sehari-hari—tantangan spiritual, sosial, dan politik.”
Bagi Jaffer, dalam kehidupan sehari-hari di AS, diskusi suni dan Syiah berada dalam tataran teologi dan dalam koridor perdebatan ilmiah. Namun, “polemik sering kali menyebabkan kurangnya rasa hormat dan tidak menghargai perbedaan.” Hal itu terjadi juga di kampus-kampus AS. Asosiasi mahasiswa muslim sebagian besar dipimpin oleh suni, sehingga acara Syiah jarang diprioritaskan di kebanyakan kampus.
Di Universitas New York, Jaffer melayani seluruh komunitas baik suni maupun Syiah. Imam Khalid Latif, direktur eksekutif Islamic Center yang merupakan seorang suni, mempekerjakan Jaffer pada tahun 2016 sebagai rohaniwan paruh waktu. Namun kehadiran peserta yang terus bertambah, Jaffer menjadi rohaniwan tetap pada semester berikutnya. Kini, setiap awal bulan Muharam dalam peringatan wafatnya cucu Nabi saw., pengikut Syiah dan suni berdatangan untuk mendengarkan ceramah Jaffer.
Bagi mahasiswa ahlusunah, program Syiah di pusat keislaman merupakan kesempatan untuk mengetahui tentang Syiah. “Saya suni, lahir di keluarga suni, dan semua orang di sekitar saya suni,” kata Monia Yousif asal Sudan. Kunjungan ke pusat keislaman menjadi pengalaman pertamanya bertemu pengikut Syiah. Pengetahuan sesungguhnya tentang Syiah membawa perubahan pada perilaku mahasiswa dan juga pemimpin asosiasi suni.
Mahasiswa Syiah di MSA Universitas New York menyelenggarakan program Muharam bersama dengan Asosiasi Mahasiwa Ahlubait Universitas Rutgers dan MSA Universitas Yale dan Columbia. Jaffer menjadi penceramah. Bagi Jaffer, hal itu menjadi pertanda bahwa ada tuntutan bagi Syiah untuk menjadi lebih inklusif. Pusat keislaman di Universitas New York dapat menjadi role model bagi kampus-kampus lain.
Referensi:
Weissman, Sara (9 Februari 2021). “A Chaplain Creates Community for Young Shiite Muslims”. Religion & Politics. Diakses pada 19 Februari 2021.
Artikel bagus. Dalam kehidupan beragama, harus lebih ditekankan adanya persamaan alih-alih mencari perbedaan