Demam dan sakit kepala yang dialami istri selama dua hari sebelum akhirnya pulih, mungkin akan dianggap sakit biasa. Tapi saat hari ketiga dia mengatakan tidak bisa mencium bebauan, ini pasti ulah virus yang terkenal itu. Anosmia atau kehilangan daya penciuman menjadi salah satu penanda infeksi Covid-19 yang membingungkan saintis. Tidak ada pembengkakan, peradangan, kesulitan bernapas, atau gejala utama lainnya, tapi kemampuan mencium aroma tiba-tiba hilang.
Para ahli dari berbagai disiplin ilmu membahasnya: ahli saraf, pakar THT, ahli virus, ilmuwan makanan, ahli kimia dan spesialis data, ilmuwan kognitif dan ahli gizi, ahli genetika, psikolog—yang menunjukkan betapa rumitnya interaksi antara bebauan, rasa, dan kehidupan manusia. Namun, banyak dari mereka kurang dihargai sebagaimana indra penciuman yang mereka pelajari.
Padahal, kemampuan mencium adalah kekuatan super. Kita berjalan melewati pintu rumah seseorang dan bisa langsung mengetahui kalau dia baru saja membuat popcorn. Ketika kita masuk ke dapur dan menghirup aroma gas, hal itu menjadi pertanda sesuatu yang tidak beres. Tapi karena kita sudah terbiasa, kemampuan itu tidak terlihat luar biasa.
Survei tahun 2019 yang dilakukan kepada orang dewasa, menempatkan penciuman sebagai indra yang paling tidak penting. McCann Worldgroup dalam penelitiannya tahun 2011 memperoleh fakta bahwa anak remaja menganggap kemampuan mencium kurang berharga dibandingkan perangkat teknologi mereka. PC Magazine juga mempunyai hasil penelitian yang mengerikan: mayoritas anak-anak lebih memilih kehilangan indra penciuman dari pada kehilangan Facebook.
Tapi penelitian itu bukan semata soal anak muda dan perkembangan zaman. Tahun 1798, Immanuel Kant menulis bahwa kemampuan mencium itu indra yang paling “tidak perlu disyukuri” dan “tidak diperlukan”. Charles Darwin menganggap penciuman sebagai “layanan yang sangat kecil” bagi umat manusia. Sejak dari Plato dan Aristoteles, hingga Descartes dan Hegel, manusia telah menghabiskan berabad-abad untuk menghilangkan kemampuan indra penciumannya sendiri.
Salah satu alasan kenapa kita mengabaikan indra penciuman karena anggapan manusia adalah makhluk berakal dan intelek. Sementara kemampuan mencium itu domain hewan rendahan, seperti anjing mengendus atau hiu mencium darah. Namun, studi terkini mendobrak keyakinan kuno: manusia terlalu canggih dan hebat dalam mencium. Otak kita tahu perbedaan antara keringat olahraga dengan keringat karena ketakutan, antara segelas anggur yang terkena lalat dengan yang tidak. Meski tidak sebaik anjing, manusia mampu menemukan jejak aroma dengan mata ditutup.
Noam Sobel, ilmuwan di Weizmann Institute of Science, mengatakan, manusia menganggap indra penciuman itu kurang penting karena kita membodohi diri sendiri. Faktanya, kita lebih memilih kue yang jelek namun beraroma kayu manis, dari pada kue yang indah tapi baunya seperti kotoran. Hipotesisnya, Covid-19 memaksa alam sadar kita untuk mengenali apa yang telah diketahui otak selama ini. “Orang tidak sadar penciuman itu penting sampai ia kehilangan,” katanya.
Tidakkah cukup jelas bagi orang yang mau menggunakan akal dan pikirannya, bahwa hal yang berkaitan dengan indra dan objeknya, keterkaitan antara keduanya, semua itu tidak akan terjadi kecuali dengan pengaturan dan ketentuan dari Tuhan yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui?
Jafar Al-Ṣādiq
Pada abad ke-8 M, Jafar bin Muhammad Al-Ṣādiq mengingatkan sahabatnya, Mufaḍḍal, untuk merenungi pancaindra yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Setiap indra itu memiliki objek yang dirasakan dan setiap objek memiliki indra yang menangkapnya. Di antara keduanya, terdapat perantara yang tanpanya indra tidak berfungsi, yaitu cahaya dan udara. Andai tak ada indra penciuman, katanya, segala aroma yang ada di muka bumi menjadi sia-sia.
Mufaḍḍal bertanya kepada Imam Jafar, kenapa ada sebagian orang yang kehilangan sebagian anggota tubuhnya, bahkan beserta dengan indranya, sehingga mengalami kesulitan?
Imam Jafar a.s. berkata, “Hal itu untuk mendidik dan memberi pelajaran bagi yang mengalami dan yang melihatnya. Seperti para raja yang memberi pelajaran kepada rakyatnya agar membuatnya jera. Masyarakat tidak mencela hukuman dari raja, bahkan memuji dan membenarkan. Mereka yang tertimpa musibah namun tetap bersyukur, berserah diri, dan tidak meremehkan apa yang menimpa mereka, diberi pahala setelah kematiannya. Andai mereka tahu pahala yang akan diterima, mereka ingin kembali dihadapkan pada bencana itu untuk memperbanyak pahala.”
Referensi:
[1] ^ Jarvis, Brooke (28 Januari 2021). “What Can Covid-19 Teach Us About the Mysteries of Smell?”. The New York Times Magazine. Diakses 1 Februari 2021.
[2] ^ Jafar, Al-Ṣādiq. Tauḥīd Al-Mufaḍḍal. Diterjemahkan oleh Ba’abud, Abdillah. (2011). Buana Tauhid. Al-Huda. ISBN 9789791193931.