Dunia Islam semakin terbagi menjadi berbagai kelompok. Semuanya mengaku yang paling mengikut sunah Nabi saw. dan paling benar. Umumnya, muslim cenderung mengidentifikasi diri mereka sebagai penganut mazhab besar: Syiah atau ahlusunah. Keduanya mengklaim sebagai pengikut Nabi Muhammad dan kemudian menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah Rasulullah itu seorang suni, Syiah, keduanya, atau bukan keduanya?

Kita tidak akan membahas secara esoteris tentang asal-muasal suni dan Syiah. Kata “suni” secara umum mengacu pada orang yang mengikuti sunah (tradisi) Nabi Muhammad. Sedangkan Syiah secara harfiah berarti “pendukung” atau “pengikut” dan mengacu pada pengikut Ali; sepupu dan menantu nabi. Secara tradisional, suni sebagai kelompok terbesar, adalah mereka yang mengakui Abu Bakar sebagai khalifah selepas nabi, sedangkan Syiah percaya bahwa Nabi saw. telah menunjuk Ali sebagai pemimpin (wali) setelah nabi.

Sebagai permulaan, kedua terminologi tersebut sebenarnya tidak tepat. Kenyataannya suni (setidaknya sebagian besar dari mereka) mengikuti Ali dan menganggapnya sebagai salah satu khulafaurasyidin. Sebaliknya, Syiah juga mengikuti sunah dari Nabi Muhammad saw. Kita berdua mengimani Tuhan yang Esa, nabi (penutup), kitab suci terakhir, dan hari penghakiman. Di luar itu, kita berdua mencintai Nabi Muhammad beserta keluarganya, sebagaimana diperintahkan Alquran:

Katakanlah (hai Muhammad), “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas seruanku kecuali kasih sayang pada al-qurbā (keluarga terdekatku).”

Q.S. Al-Syurā: 23

Terdapat kesepakatan (ijmak) dari para ulama ahlusunah dan Syiah bahwa al-qurbā itu adalah keluarga dekat putri nabi, Fatimah, menantunya Ali, dan cucunya Hasan dan Husain. Karena itu, kewajiban bagi suni dan Syiah untuk mencintai mereka.

Embed from Getty Images

Pertanyaan yang muncul kemudian: apakah ikatan ini (mengimani Allah serta mencintai nabi dan keluarganya) tidak cukup kuat untuk menyatukan kita? Banyak dari kita ingin terlibat dialog antaragama, tapi menghindari segala bentuk dialog intra-agama. Banyak dari kita lebih suka tidak membicarakannya karena itu subjek yang “sensitif”, seolah dengan tidak membicarakannya akan menyelesaikan permasalahan.

Memang ada beberapa perbedaan dalam ritual dan ideologi kita—terutama doktrin mengenai imamah (kepemimpinan). Tapi masalah yang mengganggu adalah Alquran yang klaimnya kita taati, secara eksplisit menyatakan larangan bagi umat untuk berpecah belah:

Berpeganglah kalian semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai. Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara…

Q.S. Āli ‘Imrān: 103

Lazimnya dalam Quran, ketika Allah ingin menekankan tentang suatu hal penting, pesan itu akan diulangi pada ayat kemudian. Tidak hanya di akhir ayat, Alquran juga menyampaikan peringatan keras akan konsekuensi yang berat bagi mereka yang berpecah-belah:

Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat.

Q.S. Āli ‘Imrān: 105

Alquran tidak mengatakan “tidak apa-apa berpecah belah kalau Anda merasa di jalur yang benar”. Alquran mengatakan “jangan berpecah belah”. Alquran juga berulang kali mengatakan bahwa Dialah Tuhan yang mejadi hakim terakhir, meskipun biasanya mengacu pada perbedaan antara muslim dengan ahlulkitab, tapi tetap berlaku untuk perdebatan suni dan Syiah.

Kita percaya bahwa Nabi Muhammad saw. adalah Quran yang berjalan. Kembali ke pertanyaan awal, mengikuti apakah beliau? Orang mungkin berpendapat Nabi Muhammad bukanlah Syiah atau suni karena perpecahan terjadi setelahnya. Ada pula yang mungkin berpendapat beliau itu Syiah karena mencintai Ali, sedangkan yang lain mengatakan dia suni karena mengikut sunahnya sendiri. Bisa juga dikatakan beliau keduanya, karena mencintai Ali dan mengikuti sunahnya sendiri.

Tapi yang terpenting dan utama, beliau adalah seorang muslim. Kita yang mengaku sebagai pengikutnya, seharusnya jugalah demikian.

Referensi:

Naqvi, Ejaz (15 September 2018). “Was Prophet Muhammad a Shia, a Sunni, Neither or Both?”. BN Media, LLC. Diakses pada 18 September 2018.

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.