Drama tragis karya Shakespeare, Romeo & Juliet, diawali dengan perseteruan antara jagoan-jagoan Montague dan Capulet; musuh bebuyutan yang berperang atas nama tuan mereka. Melihat kekerasan sektarian kini, Shakespeare bisa jadi akan menulis tentang muslim suni dan Syiah; dua mazhab yang saat ini terlibat pergulatan selama 1.400 tahun. Sebenarnya, kedua mazhab juga mewariskan kerja sama, pernikahan, dan kedamaian sebagai gambaran hubungan suni-Syiah sejak wafatnya nabi. Kisah Wajahat Ali bisa merefleksikan pernyataan itu.

Wajahat adalah muslim suni yang tumbuh bersama karibnya, Kashif dan Atif, yang berasal dari keluarga “Syiah garis keras”. Mereka adalah putra imigran Pakistan yang tinggal di Kalifornia; pemalu, disatukan karena sikap kampungan, gagap bersosialisasi, dan kecintaan pada kacang lentil (miju-miju). Mereka menghabiskan waktu berjam-jam bermain Sega Genesis dan tidak berbicara dengan perempuan. Keluarga mereka telah merayakan banyak kelahiran, berduka atas beberapa kematian, dan berbagi sisa nasi biryani.

Sejujurnya, ada ketidaksepakatan besar antara muslim suni dan Syiah. Terutama berkaitan dengan suksesi pasca-wafatnya nabi saw. Muslim Syiah berpendapat Nabi Muḥammad saw. menganugerahkan kepemimpinan agama dan politik kepada sepupu dan menantunya, ‘Alī. Sedangkan suni, yang menjadi mayoritas umat Islam, mengatakan bahwa nabi melakukannya kepada sahabat dan mertua nabi, Abū Bakar.

Meski demikian, keluarga Wajahat dan Kashif tidak pernah terpicu panasnya politik. Mereka justru menyatukan cinta kepada ahlulbait, sang keluarga nabi, termasuk Fāṭimah putri nabi; ‘Alī menantu nabi; dan anak-anak mereka yang menjadi syuhada, Ḥasan dan Ḥusain. Wajahat dan keluarganya turut berduka pada hari Asyura; memperingati eksodus serta kematian cucu nabi di tangan tiran seperti Yazid saat pertempuran di Karbala, Irak.

Sayangnya, beberapa ulama serta pemimpin suni mengecilkan dan sengaja melabeli memori duka Karbala sebagai “perbuatan Syiah”; semata tidak ingin sama dengan Syiah. Bagaimana pun, kisah itu telah hadir di rumah tangga suni mereka di Amerika Serikat. Saat Muharam, mendengarkan Ya Hussein milik Nusrat Fateh Ali Khan sudah menjadi tradisi tahunan. Begitu juga dengan membaca puisi pujian bagi Imam ‘Alī yang ditulis sufi abad ke-13, Moinuddin Chishti. (Perlu dicatat, Khan maupun Chishti adalah suni).

Tidak pernah sekalipun interaksi Wajahat dengan keluarga Kashif melibatkan unsur sektarian. “Amreekan Dream”, yang diabadikan dalam konstitusi, memungkinkan muslim di sisi Atlantik memiliki kesempatan untuk menghayati keyakinan dan nilai-nilai dengan nyaman; bersamaan dengan budaya pop Barat, kemewahan Asia Selatan, hijab haute couture, dan hamburger halal sambil mengenakan baju GAP.

Embed from Getty Images

Kebebasan beragama Amerika—jika tidak ada presiden atau pemimpin anti-muslim—bisa memberdayakan minoritas seperti suni dan Syiah, tanpa mengharuskan mereka untuk saling berkelahi atau membuang identitas masing-masing. Mayoritas muslim mengabaikan bahkan mengejek narasi seram tentang ISIS dan sikap sektarian yang menghantui Timur Tengah dan Asia Selatan.

Di Amerika, pemimpin suni dan Syiah berkumpul dalam Konvensi ISNA, salah satu pertemuan tahunan terbesar muslim Amerika. Mereka sepakat untuk memupuk rasa saling menghormati, bersatu, dan bersumpah untuk tidak membiarkan sektarianisme memecah belah. Mereka bekerja sama dalam kegiatan amal seperti Islamic Relief and Muslim Youth Helpline, membantu korban trauma, kekerasan, dan bencana. Suni dan Syiah saling menikah, menghasilkan pasangan “Susyi”—istilah yang digunakan beberapa muslim untuk menggambarkan anak-anak yang lahir dari keluarga suni dan Syiah.

Sangat penting bagi muslim, khususnya di Barat, untuk tidak mengimpor politik sektarian Timur Tengah. Mereka harus waspada dan tetap kuat melawan gerakan kebodohan dan reaksioner yang bisa melemahkan.

Mari kita ingat kembali akhir tragis Romeo dan Juliet agar tidak menjadi “korban dari permusuhan kita!” Sebaliknya, kita harus menciptakan generasi baru komunitas muslim yang berdaya, saling menerima, menghormati, dan merayakan “Susyi” yang tak terelakkan menuju masa depan yang lebih baik.

Referensi:

Ali, Wajahat (2 November 2016). “Opinion: What makes America so great for Sunni and Shiite Muslims”. The Washington Post.

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.