Sebagai muslim pertama yang menjuarai UFC, Khabib Nurmagomedov menjadi inspirasi. Kini, nama petarung seperti Muhammad, Usman, Abdul Razak, Rashid, tidak lagi asing di ring oktagon. Namun, terselip pertanyaan: bagaimana perspektif Islam tentang olahraga “perkelahian” ini? Memang, ada sejumlah orang yang tidak tertarik dengan olahraga tarung ini. Ada pula yang menjustifikasi ketidaksukaannya dengan menganggap olahraga ini bertentangan dengan agama.
Islam memiliki perspektif yang unik tentang bela diri, tidak spesifik terhadap UFC. Karena UFC hanyalah perwujudan komersialisasi seni bela diri campuran (mixed martial arts/MMA). Adu mulut dan ketegangan pra pertandingan merupakan mesin penghasil uang di industri hiburan ini. Namun esensi MMA sejatinya berbeda. Ada sejumlah petarung UFC yang menjunjung tinggi nilai seni bela diri yang benar dan terhormat. Jadi kita tidak secara spesifik membahas UFC, tapi lebih luas lagi.
Bela diri adalah kombinasi antara filosofi dan seni dengan olahraga—antara hati dan pikiran, serta bahasa tubuh. Persaudaraan khusus yang didasari jiwa kesatria secara historis juga tumbuh subur dalam tradisi Islam. Keterampilan pertempuran merupakan jantung yang dibangun atas sebuah filosofi bernama futuwwa. Nama itu berasal dari akar kata fatā yang umumnya dipahami sebagai “pemuda”, dan dulunya memiliki makna lebih besar sebagai pemuda mistik.
Penelusuran tentang futuwwa kembali pada ‘Alī bin Abī Ṭālib, petempur legendaris tak hanya dalam literatur Islam dan Arab, tapi juga dunia. Imam ‘Alī dianggap sebagai pendiri semangat futuwwa. Narasi terkenal itu kemudian dipahami secara lebih mendalam sebagai lā fatā illā ‘Alī wa lā saifa illā żulfiqār. Pada abad berikutnya, tradisi futuwwa memunculkan fityan: kelompok pemuda yang menjadi kesatria spiritual; simbol perlawanan terhadap kejahatan dan pengabdian tulus kepada Allah.
Kesatria sejati hidup dengan mentalitas pejuang spiritual. Mereka punya kemampuan fisik dan atletis tapi juga memanifestasikan pengampunan dan belas kasih, seperti Imam ‘Alī. Bagi seorang fityan, sangat penting untuk terus melatih fisik. Memiliki keterampilan, kepercayaan diri, dan penguasaan diri, tapi tidak harus menunjukkannya. Mereka merespon kemarahan dengan kasih sayang, saat orang lain membalasnya dengan kekerasan. Karena pertarungan terhebat justru terjadi di dalam diri kita sendiri.
Fitrah adalah cahaya yang bersinar di dalam diri seseorang, meski kini ditutupi tabir nafsu dan khilaf. Futuwwa membuat spirit dalam jiwa manusia mengalahkan kegelapan.
Sayyed Hossein Nasr
Kalau kita memisahkan keterampilan kombat dari tradisi Islam, kita harus mempertanyakan para pejuang Islam. Bagaimana Abū Faḍl ‘Abbās, Mālik Al-Asytar, atau Mukhtār Al-Tsaqafī bisa menjadi pejuang yang terampil? Ketika terjadi Perang Jamal, Imam ‘Alī memberikan panji-panji kepada putranya, Muḥammad, sambil berkata, “Gunung mungkin bergeser dari tempatnya, tapi tidak dengan dirimu. Gertakkan gigimu. Bertawakallah kepada Allah dan letakkan kakimu dengan kuat di tanah.”
Ada banyak riwayat semacam itu. Kalau kita perhatikan, kalimat Imam ‘Alī kepada pasukannya bukanlah ditujukan kepada petani atau orang awam. Tapi para kombantan yang terlatih dalam angkat beban, mahir menggunakan pedang, berkuda, dan memanah. Riwayat menyebutkan Ḥasan dan Ḥusain gemar berlatih gulat semasa mudanya.
Lalu, dari sudut pandangan fikih—apakah seni bela diri atau olahraga tarung diperbolehkan dalam hukum dalam Islam?
Pertama, tidak ada masalah dalam menyaksikan olahraga tarung, termasuk UFC. Sedangkan untuk olahraga latihan, Sayid Al-Sīstānī mengatakan diperbolehkan selama tidak ada bahaya yang signifikan bagi kesehatan seseorang. Bahaya signifikan ini merujuk pada individu masing-masing, kasus per kasus, yang dalam fikih disebut tasykhiṣ al-mauḍū‘. Boleh untuk orang lain belum tentu boleh untuk yang lainnya bergantung pada beberapa kondisi. Jadi tidak ada jawaban hitam/putih atau halal/haram.
Jika melakukan latihan atau tanding, harus dipertimbangkan seberapa intens dan sering dilakukan? Seberapa melindungi perlengkapannya? Bagaimana tindakan pencegahan yang diambil untuk menghindari cedera? Seberapa besar kemungkinan cedera akan menjadi serius? Begitu juga dengan level keterampilan yang harus dipertimbangkan. Seorang pemula mengikuti turnamen besar melawan petarung profesional, kemungkinan besar tidak diperkenankan dalam hukum Islam.
Tentu, akan selalu ada orang yang berlatih seni bela diri dengan niat yang tidak benar. Kekerasan dan balas dendam menguasai hati dan pikiran. Namun, ada juga orang dari semua agama dan tak beragama yang berlatih seni bela diri untuk belajar menghormati, disiplin, dan mendapatkan keterampilan serta kekuatan. Bagi muslim, berlatih seni bela diri dengan aman dan niat yang benar dapat dianggap sebagai bentuk ibadah jika ditanamkan rida Allah.
Dalam risalah abad ke-15 tentang futuwwa, Kashifi Sabzawari menuliskan 12 kode kehormatan bagi kombatan spiritual untuk menjadi juara sejati: takwa kepada Allah, taat pada hukum agama, tubuh yang kuat, lisan yang santun, keberanian, kebijaksanaan yang sempurna, pengetahuan penuh, upaya tak kenal lelah, karakter yang menyenangkan, hindari hal yang melanggar hukum, dan berkah yang abadi.
Referensi:
Makke, Hussain (13 Oktober 2018). “The Muslim Martial Artist: The Islamic Perspective on Combat Sports”. The Muslim Vibe.
Kazemi, Reza Shah. The Sacred Foundations of Justice in Islam: the Teachings of Ali ibn Abi Talib. Hal. 135
Haylamaz, Resit (2013). Ali ibn Abi Talib: The Hero of Chivalry. Hal. 1
Nasr, Sayyed Hossein (1997). Islamic Spirituality: Manifestations. Hal. 304
Sabzawari, Husayn Waiz Kashifi. The Royal Book of Spiritual Chivalry. Hal. 299