Pernah mendengar tentang suku Hazara di Afghanistan? Awal Mei lalu, kebanyakan anak-anak sekolah mereka meninggal akibat bom. Khaled Hosseini dengan indah melukiskan gambar memilukan sejarah Afghanistan dalam novelnya The Kite Runner. Jika kita membaca atau menyaksikan filmnya, akan muncul pertanyaan, “Kenapa Hassan dan Ammar diperlakukan sangat berbeda?” dan “Apa dasar diskriminasi dan penindasan terhadap Hassan dan keluarganya?”

Di Pakistan, kita juga sering mendengar berita tentang ledakan bom. Belum lama ini, terjadi pembantaian muslim Syiah di kota Gilgit hanya karena perbedaan hari raya Idulfitri. Eliya Imtiaz, editor senior The Michigan Daily, selalu terkejut dan sedih memikirkan penindasan intra-agama terhadap Syiah, terutama di negara asalnya Pakistan. Sangat berbeda dengan hak yang dimiliki penganut Syiah di kotanya saat ini, Michigan.

Tapi Eliya merenung, apa benar dia memiliki kebebasan? Karena, setiap kali salat dengan turbah dia harus mendapati pertanyaan lelucon klasik, “Kenapa kamu salat pakai batu?” Kemerdekaan apa yang dimiliki ketika Eliya harus pura-pura bertoleransi ketika muslim suni berkata, “Kami diizinkan menikahi orang Yahudi dan Kristen, tapi tidak dengan Syiah”?

Ketika ada berita, Eliya beralih ke media sosial untuk melihat solidaritas zaman now: aktivisme sosial Instagram. Bukan tolok ukur yang tepat, tapi cukup bisa menjelaskan bahwa banyak umat Islam berbicara soal keadilan sosial—kecuali terhadap Syiah. Ironisnya, mereka adalah umat yang sama yang kerap mengeluh, “Giliran tentang Islam, dunia diam.”

Buat Eliya dan sahabatnya yang seorang Ahmadiyah, ada tirai yang membatasi: jika tentang Syiah dan Ahmadiyah, bahkan sesama muslim pun akan diam. Solidaritas yang muncul pada umat Islam selalu luar biasa, tapi Eliya terasa seperti orang luar yang melihat ke dalam. Sebab persatuan dan soliditas itu tidak akan pernah diberikan kepada minoritas muslim yang teraniaya.

Berada dalam subkelompok, memberikan kejelasan tidak hanya soal kemunafikan, tapi juga inkonsistensi logis. Saat berada di persimpangan multi-identitas, coba deh untuk memeriksa validitas aktivisme kita: jika memperjuangkan hak-hak wanita, apakah itu hanya wanita kulit putih? Jika menyuarakan umat Islam, apakah termasuk membungkam suara penganut Syiah dan Ahmadiyah?

Umat Islam harus introspeksi karena begitu sering kita melakukan penindasan terhadap sesama muslim yang kita sendiri tidak ingin terima.

Eliya Imtiaz
Embed from Getty Images

Ingat tragedi yang menimpa Aya Hachem saat musim semi tahun 2020? Aya tewas ditembak di dada saat masih berusia 19 tahun. Dengan cepat, fotonya menyebar ke seluruh media sosial dan informasi donasi dibagikan. Namun, tiba-tiba hilang begitu saja. Akun Twitter @humbleakh1 menulis, “Saya tidak tahu dia seorang Syiah… saya tidak ingin berada di situasi yang memberatkan saya di Hari Akhir.” Warganet akhirnya tahu bahwa Aya ternyata muslim Syiah dan hal itu mengubah segalanya. Donasi dibatalkan dan penggalangan dana dibekukan.

Eliya sendiri pernah mencalonkan diri sebagai presiden Muslim Student Association saat masih SMA. Belakangan, dirinya tahu kalau adik kelas dilarang memilih dirinya karena Eliya seorang Syiah. Dalam komunitas muslim, identitas Syiah menjadi pembeda dirinya. Saat kuliah, faktor yang membuat dirinya dianggap berbeda terus bertambah.

Eliya tidak pernah bersuara soal identitasnya. Tapi rasa takut untuk menulis tentang pengalaman pribadi dikalahkan oleh rasa muaknya. Terdorong oleh umat Islam yang berkumpul membela Palestina, Eliya ingin hal itu menjadi momentum agar kita konsisten ketika penindasan justru berasal dari dalam agama. Sekecil apapun lingkup persaudaraan dalam Islam, akan semakin kecil dalam mazhab minoritas.

Penindasan terhadap mazhab minoritas di wilayah dominasi suni adalah mikrokosmos bagi penindasan terhadap muslim dalam skala yang lebih luas. Hal yang seperti itu tidak disadari umat Islam. Kita punya kekuatan untuk melakukan advokasi, tapi juga harus introspeksi terhadap prasangka dan kekerasan yang dilakukan dalam agama sendiri. Jika tidak, fondasi moralitas dan perjuangan banyak umat Islam akan selalu rapuh dan inkonsisten.

Referensi:

Imtiaz, Eliya (24 Mei 2021). “Living as Exceptions”. The Michigan Daily.

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.