Dunia mungkin saja melupakan tragedi ini, tapi tidak bagi warga Irak khususnya Ali Hussein Kadhim. Tanggal 12 Juni 2014, Ali sedang menunggu giliran kepalanya ditembak. Dia urutan keempat dalam barisan eksekusi. Ketika orang ketiga ditembak, darah hangat syahid itu memercik ke wajah Ali. Pasrah sudah, tak ada lagi ketakutan dalam diri Ali. Namun sontak, bayangan tentang putrinya yang masih kecil muncul memanggil dirinya.
Sekejap peluru keempat melewati kepalanya, Ali langsung jatuh tersungkur. Peluru itu melewatinya entah ke mana, tapi Ali berpura-pura mati. Sesaat kemudian, eksekutor yang melewati tumpukan mayat melihat tubuh yang masih bernafas. Anggota teroris yang lain berkata, “Biarkan dia menderita! Dia cuma orang Syiah kafir!”
Ali memutuskan untuk menjadi tentara Irak karena kesulitan ekonomi. Dia hanyalah satu dari ribuan taruna yang ditempatkan di Kamp Speicher yang berlokasi dekat kota Tikrit. Kisah pilu ribuan tentara muda ini adalah cermin buruknya militer Irak hasil didikan Amerika Serikat meski berbiaya miliaran dolar. Lebih dari 5.000 taruna tak bersenjata ditempatkan di kamp. Komandan militer yang masih merindukan Saddam mengistirahatkan para kadet pulang ke rumah, tapi harus menggunakan pakaian sipil.
Ternyata semua itu jebakan. Militer sedang menyerahkan tarunanya kepada ISIS. Saat berjalan mencari tumpangan yang membawa mereka ke Baghdad, dua bus berisi 10 pria bersenjata menghentikan tentara muda itu. Salah satu bus dikendarai oleh putra saudara tiri Saddam. Beberapa bus tambahan berisi anggota ISIS muncul dan berkata, “Jangan takut… kami akan membawa kalian ke Baghdad.” Lagi, semua itu hanyalah jebakan.
Tikrit adalah tumpah darah Saddam Hussein. Beberapa pejabat rezim Saddam yang kini menjadi komandan ISIS akan membalas dendam. Mereka memilah ribuan taruna tersebut: ahlusunah boleh pulang, tapi Syiah dibawa ke istana Tikrit. Selama tiga hari berikutnya, ISIS membunuh lebih dari seribu taruna Syiah di sekitar istana, gurun, dan pinggir sungai Tigris. Jumlahnya diperkirakan menjadi 1.700 orang.
Ali Hussein Kadhim menunggu selama beberapa jam hingga kondisi gelap dan sunyi. Berjalan 200 meter melewati mayat bergelimpangan, Ali tiba di tepi Sungai Tigris. Di sungai, ia melihat seorang pria terluka parah bernama Abbas, pengemudi di Kamp Speicher. Selama tiga hari bersama Abbas, Ali makan serangga dan dedaunan. Saat Ali akan pergi, Abbas memintanya untuk kembali. “Jika tidak bisa balik, ceritakan kepada semua orang apa yang terjadi,” kata Abbas.
Ali berhasil menyeberangi derasnya arus sungai Tigris di malam hari. Dia berjalan hingga menemukan alang-alang untuk beristirahat. Keesokan paginya, Ali harus berhati-hati dalam memilih rumah yang dikunjunginya. Wilayah itu mayoritas ahlusunah dan area kekuasaan ISIS. Beruntung, rumah yang dikunjungi Ali menyambut dan menyediakan makanan. Namun, pemilik rumah takut sehingga mengirim Ali ke desa lain.
Sampai di kota Al-Alam, Ali berlindung selama dua minggu di rumah seorang syekh suni, Khamis Al-Jubouri. Syekh Khamis sebelumnya telah beberapa kali memberikan perlindungan bagi tentara Syiah Irak yang melarikan diri dari ISIS. “Kami telah membantu 40 tentara Irak dari Anbar, Diyala, Mosul, dan Baghdad serta membawa mereka pulang dengan identitas palsu,” kata syekh itu. Setelah dirasa aman, Ali dikirim ke kota Irbil dan bertemu dengan pamannya yang datang dari Najaf.
Ali tiba di rumah. Seluruh keluarga menangis, namun Ali tertawa. “Putriku tak lagi mengenaliku,” katanya. Seorang intelijen militer mengunjunginya, mengambil kesaksian, dan hanya memberinya kurang dari separuh gaji bulanan sebagai seorang tentara. Sebuah pekerjaan yang tak akan pernah pernah ia jalani lagi.
Referensi:
[1] Shum, Mike; Campbell, Greg; Ellick, Adam B.; El-Naggar, Mona (3 September 2014). “Surviving an ISIS Massacre”. The New York Times.
[2] Khawaja, Ahmen (10 Agustus 2020). “Islamic State in Iraq: ‘How I survived an IS massacre’.” British Broadcasting Corporation.