Tidak ada yang ragu. Ali bin Abi Thalib sosok penting dalam sejarah Islam. Bagi mayoritas ahlusunah, beliau itu khalifah keempat dalam jajaran khulafaurasyidin. Bagi Syiah, beliau adalah imam pertama. Bahkan, beliau juga sangat dihormati oleh para sufi. Sebagian besar tarekat tasawuf bisa dilacak jalur spiritual sampai Nabi Muhammad saw. Semua lewat sepupu dan menantunya itu yang bernama Ali.

Tapi, pujian universal untuk Ali tidak terjadi begitu saja. Nebil Husayn menguraikan dalam bukunya berjudul Opposing the Imam: The Legacy of the Nawasib in Islamic Literature. Menurutnya, pandangan positif tentang Ali di kalangan umat Islam saat ini “mengaburkan kontroversi berabad-abad sampai akhirnya karakter Ali dapat direhabilitasi”.
Semua itu tak lain karena warisan abadi nawāṣib. Bentuk jamak dari nāṣibī. Istilah itu merujuk pada sekelompok muslim zaman dulu yang memusuhi dan menghina Ali, keturunan Ali, dan pengikutnya yang disebut Syiah. Biasanya karena alasan politis. Meski kelompok itu umumnya dianggap musnah sekitar abad kesembilan, tapi ideologi ekstrem itu masih bertahan sampai saat ini.
Buku karya Nebil Husayn ini bercerita soal dampak nawāṣib terhadap ahlusunah. Ortodoks suni dan Syiah memang mengecam keras sikap nasb—sentimen kebencian pada keturunan atau Bani Ali. Tapi kata Husayn, nawāṣib “membuat kontribusi literatur yang ditransmisikan oleh otoritas suni tentang Ali dipandang sebagai akurat.”
Kecintaan dan rasa hormat kepada Ali di berbagai mazhab itu “muncul belakangan”. Sentimen kebencian kepada Bani Ali perlahan menjadi “sejarah yang terhapus dalam Islam suni”. Pada akhir abad kesembilan, proto-suni muncul dan menolak propaganda terhadap Ali dan pembunuhan karakter terhadapnya. Proses rehabilitasi nama baik Ali sulit dilakukan karena perdebatan sudah berlangsung selama tiga abad. Kalau kita baca, banyak ulama pendukung Bani Umayyah menempatkan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah keempat, bukan Ali.
Didasarkan pada hadis, sejarah, literatur biografi dan teologi, buku Opposing the Imam mencoba mengeksplorasi dan menganalisis bagaimana umat muslim terdahulu menentang kepribadian Ali. Buku ini juga membahas metode yang digunakan ulama suni mutaakhirin untuk membalikkan kesan yang ditinggalkan oleh propaganda anti-Ali. Husayn bilang, penghapusan sentimen itu “bukan hanya soal menghilangkan, tapi juga menyangkal bahwa sentimen itu pernah ada”.
Nebil Husayn merunut tulisannya dengan baik. Kerangka yang disusun membantu pembaca untuk memahami berbagai sikap muslim terdahulu terhadap Ali. Ada spektrum soal kelompok radikal anti-Bani Ali yang memusuhi secara terbuka. Mereka menentang penghormatan kepada Ali dengan dalih sebagai sikap berlebihan (ghulat). Setelah mendefinisikan siapa nawāṣib, buku ini fokus pada tokoh penting dalam sejarah Islam yang memendam kebencian pada Bani Ali.
Selanjutnya ada kelompok yang disebut dengan Utsmani. Kelompok muslim awal yang menerima suksesi tiga khalifah pertama. Tapi meragukan dan menentang klaim Ali. Setelah pembunuhan terhadap Ali, Dinasti Umayyah semakin keras membenci Bani Ali dan pengikutnya. Di bawah kekuasaannya, ritual mengutuk Ali dan keturunannya menjadi sikap resmi otoritas.
Buku Opposing the Imam diteliti dengan baik. Mampu bertahan untuk tetap objektif. Meski topiknya sensitif. Banyak area abu-abu dalam umat Islam masa lampau terutama sikap terhadap Ali bin Abi Thalib. Buku ini seperti tesis akademis, jadi mungkin tidak untuk pembaca kebanyakan dengan minat sejarah Islam. Konon, kajian soal nawāṣib ini salah satu yang sering diabaikan. Tapi semoga, kontribusi ilmiah ini bisa membuka jalan bagi publikasi selanjutnya.
Referensi:
Ahmed, Omar (26 Juli 2021). “Opposing the Imam: The Legacy of the Nawasib in Islamic Literature”. Middle East Monitor.