Tragedi Karbala pada hari Asyura adalah sejarah yang gamblang. Orang yang mempelajari sejarah tahu kalau peristiwa itu terdokumentasi dengan baik. Sumbernya banyak sekali. Namun sejarah tetap tak terlepas dari distorsi atau tahrif. Apa itu tahrif? Syahid Motahhari mengatakan, tahrif dalam bahasa Arab berasal dari kata harrafa. Artinya memiringkan, mencondongkan, mengubah, mendistorsi. Maksudnya membuat sesuatu menyimpang dari jalur atau posisi semula.
Ada beragam bentuk tahrif. Bentuk paling penting adalah tahrif kata dan tahrif makna. Tahrif kata terjadi ketika bentuk literal sebuah pernyataan diubah. Sedangkan pada tahrif makna, pernyataan itu ditafsirkan bertentangan dari maksud pembicaranya. Ada intensi orang lain yang menggantikan maksud si pembicara.
Sejarah atas peristiwa Asyura tidak terlepas dari tahrif tadi. Hal itu terjadi dari bentuk luar maupun kandungan isinya. Dampaknya, ada bagian dari catatan sejarah yang menjadi tidak berguna atau kurang berpengaruh dalam kehidupan. Padahal peristiwa itu sumber pendidikan agung. Syahid Motahhari berpendapat, kita semua memiliki kewajiban untuk membersihkan sejarah itu dari distorsi.
Tapi apa yang membuat tahrif pada sejarah itu terjadi? Pertama, faktor alamiah secara umum. Musuh punya motivasi tersendiri untuk mendistorsi sebuah peristiwa. Akibatnya perjuangan Imam Husain direndahkan. Musuh menuduh gerakan Imam Husain sebagai penyebab konflik dan perpecahan. Faktor kedua adalah kecenderungan manusia untuk menciptakan mitos. Mengubah fakta menjadi legenda. Hal ini terjadi pada banyak sejarah di dunia.
Syahid Motahhari telah membaca kitab Rauḍah Al-Syuhadā karya Kāshifī. Kitab berbahasa Persia itu ditulis 850 tahun setelah tragedi Karbala. Dalam biografinya tidak ada indikasi dia Syiah atau ahlusunah. Ketika di kota Sabzawar, dia bersikap seperti orang Syiah yang lebih dari orang Syiah. Tapi ketika di kota Herat, dia berceramah dengan model suni Hanafi. Dalam kitab itu, terlalu banyak kisah nyata menjadi kisah dongeng.
Muhammad Tehrani, seorang peneliti dan guru di hauzah, menulis sebuah buku kecil. Isinya kisah-kisah tentang Asyura yang populer. Baik disampaikan sebagai bagian dari kisah duka dan eulogi maupun dari mimbar. Tapi kebanyakan kisah itu tidak ditemukaan dalam literatur sejarah yang bisa diandalkan. Munculnya justru dalam karya yang dianggap lemah dan bermasalah. Berikut beberapa kisah yang lemah dan tak dapat diandalkan menurut kajian Muhammad Tehrani:
Ungkapan yang dinisbatkan
- Penisbatan ucapan “Susu ibunya telah mengering… beri dia setetes air” kepada Imam Husain. Ketika bayi itu terbunuh dengan panah, sang bayi melihat Imam a.s. dengan tersenyum lalu syahid.
- Percakapan Imam Husain a.s. dengan Sukainah tentang kesyahidan Ali Akbar. Imam meminta Sukainah untuk bersabar. Sumber percakapan ini dikaitkan dengan Syekh Mufid namun tidak ditemukan sama sekali dalam karya Syekh Mufid.
- Imam Husain a.s. pergi menuju tepi sungai Efrat dengan kudanya dan berbicara dengan air.
- Penisbatan ucapan kepada Imam Husain a.s. yaitu “Jika agama Muhammad tidak tegak kecuali dengan terbunuhnya aku maka wahai pedang-pedang ambillah nyawaku.”
- Penisbatan kalimat “Tiada yang kulihat kecuali keindahan” kepada Sayidah Zainab a.s. sebagai jawaban kepada Ibnu Ziyad yang bertanya, “Sudahkah engkau melihat apa yang Allah perbuat terhadap keluargamu?” Pernyataan tersebut tidak ditemukan dalam buku sejarah terdahulu.
- Sayidah Zainab a.s. meletakkan tangannya di tubuh Imam Husain dan berkata, “Ilahi, terimalah persembahan (kurban) ini dari kami.”
Haus yang mencekik
Rasa haus yang dirasakan Imam, keluarga, dan sahabatnya adalah fakta sejarah tak terbantahkan. Sampai pagi hari Asyura, persediaan air sangat sedikit di kemah. Namun banyak cerita tentang air dan rasa haus ini menjadikannya sebagai fokus tragedi terbesar. Padahal tidak terdapat dalam sumber terpercaya. Riwayat menyebut Imam dalam kondisi memalukan meminta air dari musuh. Sejumlah riwayat yang tercemar antara lain:
- Imam memohon kepada musuh untuk memberikan air kepada keluarga dan anak-anaknya yang sekarat kehausan;
- Imam berkata kepada Syimr bahwa dirinya sekarat dan meminta air. Ketika Umar menolaknya, Imam menundukkan kepala karena malu kepada para wanita. Imam menangis hingga jubahnya basah, lalu melanjutkan pertempuran;
- ‘Abbās memberi tahu Umar jika keluarga Imam sedang sekarat dan meminta air darinya;
- ‘Abbās mencapai sumber air dan hendak minum. Namun karena mendengar suara al-‘athash dari anak-anak, ‘Abbās menumpahkan air dan bersumpah kepada Allah tidak akan minum sebelum Imam dan keluarganya. Para penulis mutaakhirin menggubah dan mendramatisir kejadian dengan menambahkan detail ke dalamnya;
- Imam Husain mencapai tepi sungai Efrat dan mengambil air. Tapi ketika teringat para wanita dan anak-anak kehausan, Imam menumpahkan;
- Panas pada hari Asyura naik tujuh puluh kali lipat atas keinginan iblis;
- Jumlah pasukan yang berjaga di sungai Efrat sebanyak 4.000 tentara. Menurut riwayat terdahulu, ada 500 tentara di tepi sungai Efrat yang mencegah akses ke sana.
Bagaimana ‘Abbās syahid?
Kitab Rauḍah Al-Syuhadā membuat kisah yang ringkasnya begini: ‘Abbās meminta izin dari Imam untuk pergi mencari air. Para musuh mencegahnya mencapai air dan dia kembali ke Imam sampai dia mendengar suara anak-anak menangis “haus”. Setelah mendengar suara itu, ‘Abbās pergi ke sungai Efrat meski ada 4.000 orang yang berjaga. Sekitar 500 orang menyerang ‘Abbās. Beliau mampu membunuh 80 orang dari mereka dan mencapai sungai.
Seribu tentara lain menyerang ‘Abbās dari segala arah, tapi dia menyerang balik. Musuh ketakutan dan melarikan diri. ‘Abbās mengisi wadah air dan sejenak berpikir untuk meminumnya. Teringat kehausan Imam, anak-anak, dan para wanita, ‘Abbās tidak jadi minum. ‘Abbās menaiki kuda dan meletakkan wadah air di tangan kanan, tetapi musuh memotong lengan kanan. ‘Abbās kemudian meraih bejana dengan tangan kiri, tetapi musuh juga memotong lengan kirinya. ‘Abbās kemudian meraih dengan giginya, tapi sebuah panah diluncurkan yang membuat semua air tumpah. Musuh menyerang ‘Abbās dan mulai memenggalnya.
Dalam karya terdahulu dan terpercaya disebutkan jika ‘Abbās dan Imam Husain pergi bersama menuju sungai untuk mengambil air. Sebelum mereka mencapai sungai Efrat, sebuah anak panah mengenai wajah Imam sehingga beliau harus kembali. Saat itulah musuh mengepung dan memisahkan ‘Abbās dari Imam. Musuh menyerang ‘Abbās sendirian. Setelah melakukan perlawanan, ‘Abbās dibunuh oleh Zaid bin Warqā Hanafī dan Hakīm bin Tufail.
Kesyahidan bayi suci
Sebuah riwayat kurang terpercaya menyebutkan jika Imam Husain a.s. mendengar jika bayi itu menangis kehausan. Imam membawanya ke depan musuh dan mengangkatnya. Imam meminta setetes air, namun sebuah panah dilepaskan ke bayi itu sehingga terbunuh. Deskripsi anak panah bermata tiga juga disebut tidak dapat diandalkan.
Catatan terpercaya mengatakan jika Imam Husain berada di atas kudanya. Catatan lain menyebut jika Imam berada di kemahnya. Kemudian seorang bayi lahir saat itu (atau dalam catatan lain, bayi itu baru berusia beberapa bulan atau tahun). Bayi tersebut dihadirkan kepada Imam. Imam memeluk bayi itu dan memberinya nama. Saat itulah, Harmalah bin Kāhil melepaskan anak panah ke arah bayi yang mengakibatkannya terbunuh. Imam menarik anak panah dari leher bayi, mengambil darahnya dan melemparkannya ke langit. Riwayat lain menyebut Imam menumpahkan darahnya ke tanah.
Referensi:
[1] Ali, Sayyid (13 Oktober 2018). “Popular – Unreliable – Accounts Related to Ashura”. Iqra Online.
[2] Motahhari, Morteza. “Ashura: Misrepresentations and Distortions, Part 1”. Al-Islam.org.
[2] Motahhari, Morteza. “Ashura: Misrepresentations and Distortions, Part 2”. Al-Islam.org.