Alkisah, ada pemuda yang lagi semangat mencari ilmu. Dia ingin mempelajari ilmu agama, meski sebatas kulitnya saja. Di sosial media, ada kelompok pengajian yang menarik perhatiannya. Ada pula yang direkomendasikan oleh temannya. Dia bingung dihadapkan pada dua majelis ilmu. Majelis yang pertama mengaku berada pada Al-Qur’an dan sunah; majelis yang lain juga mengatakan berada di jalan Al-Qur’an dan sunah.
Pemuda itu meminta saran dari orang saleh. Orang saleh malah mengatakan, “Kita harus datangi kedua majelis itu. Mari saya tunjukkan…”
Tiba di majelis pertama, pemuda dan orang saleh itu sengaja berdiri di dalam majelis saat ustaz sedang berceramah. Ustaz itu melihatnya dan berteriak, “Hai! Duduk! Mengapa kalian berdiri?!” Orang saleh itu menjawab, “Saya tidak ingin duduk di majelis Anda.”
Ustaz berkata, “Mengapa engkau tidak ingin duduk di majelis saya?” Beliau menjawab, “Saya punya masalah dengan Anda.” Ustaz itu berkata, “Saya juga punya seribu alasan itu melawan Anda. Keluarlah engkau, setan! Jangan ganggu pelajaran kami!”
Si pemuda itu bilang, “Ayo kita pergi sebelum mereka memukuli kita.”
Mereka datangi majelis kedua dan melakukan hal yang sama. Si ustaz menghentikan pelajarannya dan berkata, “Akankah kalian berdua duduk?” Orang saleh menjawab, “Saya tidak mau duduk di majelis Anda.” Si ustaz berkata, “Mengapa?” “Ada masalah di hati saya tentang Anda.”
Ustaz di majelis kedua itu menundukkan kepalanya dan menangis. Dia berkata, “Innalillāh wa innā ilaihi rāji‘ūn. Astaghfirullāh wa attūbu ilaih. Semoga Allah memberi Anda penglihatan tentang kesalahan saya yang tersembunyi. Aku memohon ampun kepada Allah.” Ustaz itu terus meneteskan air mata.
Orang saleh itu menghadap pemuda pencari ilmu dan berkata, “Jadi, majelis mana yang akan engkau datangi? Majelis kedua ini atau yang pertama tadi?”
Tolak ukur ketakwaan, kesalehan, dan agama itu bisa terlihat dari karakter dan akhlak seseorang. Kalau kita pernah bingung karena masing-masing mengatakan “kamilah yang paling benar”, lihatlah akhlaknya. Tidak mungkin ada ketakwaan, agama, dan pengetahuan jika tidak ada akhlak. Pengetahuan dan keagamaan yang tidak memengaruhi akhlak seseorang, akan meninggalkan cacat dalam pengetahuan dan keagaamaan seseorang.
Di mana ada akhlak yang bersih dan murni, di situlah ada agama. Di mana ada akhlak yang bersih dan murni, di situlah ada pengetahuan. Di manapun tidak ada akhlak yang baik maka di sana tidak ada agama dan pengetahuan.
Habib Ali Zain Al-Abidin Al-Jifri
Oke, jangan kita menilai orang lain dulu. Mari kita nilai diri sendiri. Supaya kita dapat memperbaiki diri antara kita dengan Allah. Bisa jadi kekurangan pada orang yang terlihat bertakwa dan beragama karena ada pemahaman yang terputus soal agama. Terutama tentang akhlak baik dan hubungan bermuamalah dengan orang lain, atau sebab lain.
Pernah ada seseorang yang datang ketika Rasulullah sedang bersama sahabatnya. Orang ini dihormati dan terpandang di masyarakat. Tapi dia selalu merasa lebih baik dari yang lain. Rasulullah bertanya pada para sahabat, “Bagaimana pendapat kalian tentang orang ini?” Sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, ini orang terhormat. Kalau dia meminta seseorang untuk dinikahi, pasti tidak akan ditolak.” Rasulullah diam. Orang itu berjalan dengan bangga dan kemudian duduk.
Tidak lama kemudian, ada orang miskin datang bersama dengan kesalehan dan keikhlasan bertakwa kepada Allah. Rasulullah bertanya kepada sahabat, “Bagaimana pendapat kalian tentang orang ini?” Sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, orang ini tidak bisa menikah walau dia ingin. Siapa yang akan menerimanya? Dia lemah dan tidak punya apa-apa. Jika ia melamar wanita, pasti ditolak.” Nabi saw. menjawab, “Orang ini lebih (mulia) sebesar berat bumi dibandingkan yang satunya.”
Ada juga orang lain yang datang dalam majelis. Para sahabat memuji bahwa orang itu suka bangun malam, puasa siang hari, dan menghafal ilmu. Nabi berkata, “Saya melihat tanda yang sama dengan tujuh setan di wajahnya.” Nabi saw. bertanya kepada orang itu, “Hai, apakah ketika masuk masjid engkau memandang diri sendiri lebih baik dari orang lain yang ada di masjid?” Dia menjawab, “Ya.”
Inilah cara bagaimana kita menilai diri sendiri. Jika masuk ke suatu tempat, jangan berpikir bahwa diri kita lebih baik dari yang lain. Agama ini agama adab dengan Tuhan. Sebuah refleksi dari bagaimana kita memperlakukan dan berurusan dengan makhluk lain. Begitulah kita memperbarui cara untuk melihat ketakwaan dan keberagamaan.
Artikel ini diadaptasi dari salah satu ceramah Habib Ali Zain Al-Abidin Al-Jifri.