Siapa sih yang tidak senang kalau orang yang kita sayangi lagi berulang tahun? Apalagi ini bukan sembarang orang, tapi kesayangan Allah (habibullah). Namun bagi sebagian muslim, perkaranya tidak sesederhana itu. Nabi Muhammad saw. adalah rasul terakhir dan segala hal yang berkaitan dengan beliau jadi erat dengan hukum agama. Meski timbul pertanyaan: apakah memperingati maulid nabi itu berkaitan dengan syariat?
Ada beberapa teori tentang sejarah asal muasal peringatan maulid Nabi saw. menurut para ulama:
- Rasulullah saw. sendiri yang memperingati hari lahirnya dengan melakukan puasa sebagai bentuk rasa syukur, sebagaimana riwayat hadis sahih.
- Khalifah ‘Umar menganggap penting hari lahir nabi sehingga dia mempertimbangkan maulid nabi sebagai awal tahun hijriah.
- Seorang wanita bernama Khaizuran binti Athā’ istri seorang khalifah Bani Abbasiyah sekaligus ibu dari Hārūn Al-Rasyīd yang mengenalkan peringatan maulid di Makkah dan Madinah.
- Khalifah Dinasti Fatimiah bernama Ma’ad Al-Muiz lī Dīnillāh yang bermazhab Syiah Ismailiah menyelenggarakan majelis maulid nabi dan ahlulbaitnya.
- Salahuddin Ayyūbī seorang sunnī Kurdi yang merayakan maulid nabi untuk menyemangati kaum muslimin yang tengah berperang.
- Pangeran asal Erbil bernama Muzaffaruddin Gökböri yang juga merupakan jenderal dan tangan kanan Salahuddin Ayyūbī.
- Syekh ‘Umar bin Muhammad Al-Malā’ yang masyhur dengan nama Syekh Mosul dianggap sebagai orang pertama yang menyelenggarakan maulid dengan terorganisir.
Kalau kita perhatikan teori dan periode waktunya, peringatan maulid Nabi saw. tidak berdiri sendiri. Bukan pula dalam satu titik waktu ia kemudian mendadak populer di dunia Islam. Ada rangkaian sebab dan dalil yang melandasinya hingga bentuk peringatannya pun berkembang.
Menurut ahlusunah
Berdasarkan riwayat mengenai maulid nabi di atas, jumhur ulama ahlusunah mengatakan hukum memperingati maulid adalah boleh (mubah). Tidak ada pula dalil yang tegas mengharamkannya. Anggapan kalau peringatan maulid itu bidah tidak tepat karena maulid bukan ritual ibadah mahda yang diatur tata cara syariatnya.
Imam Suyūthī menilai, berkumpulnya umat Islam dengan membaca Al-Qur’an dan mengenang Nabi saw. termasuk bidah hasanah. Orang yang melakukannya akan mendapat pahala. Ibnu Hajar Al-‘Asqalānī, Ibnu Al-Jauzī, Ibnu ‘Ābidīn, Abū Syāmah Al-Maqdisī, Ibnu Al-Jazarī, serta ulama ahlusunah mutaakhirin lain berpendapat serupa.
Sementara ulama seperti Ibnu Taimiyah, Abū Ishāq Al-Syātibī, serta sejumlah ulama Wahabi berpendapat sebaliknya: maulid termasuk bidah yang mungkar. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Perayaan selain dari hari raya yang disyariatkan seperti pada sebagian malam dari bulan Rabiulawal… termasuk bidah yang tidak disukai salaf.” Al-Albānī berpendapat peringatan hari lahir merupakan tradisi Nasrani.
Pendapat kedua para ulama ini sederhana sebagaimana hadis “Setiap bidah adalah sesat meski manusia menilainya hasanah.” Mereka yakin jika nabi, sahabat, dan tabiin tidak memperingati maulid. Salah satu teori sejarah asal mula peringatan maulid oleh Dinasti Fatimiah yang bermazhab Syiah semakin memperkuat argumen ulama Wahabi untuk mengharamkannya. Syekh ‘Abd Al-‘Azīz bin Bāz mengatakan, “Perayaan maulid Nabi saw. adalah bidah… Hal itu dilakukan oleh Syiah dan pengikutnya maka janganlah bertaklid pada perbuatannya.”
Menurut Syiah
Sementara menurut para ulama Syiah, memperingati maulid Nabi saw. sangatlah jelas: dianjurkan. Meski tidak ada perintah langsung dalam syariat, sejumlah ayat Al-Qur’an mengenai pentingnya kecintaan dan penghormatan kepada nabi merupakan argumen menguatkan peringatan maulid. Menurut Syekh Rasul Jafarian, memperingati maulid merupakan bentuk syukur lahirnya rasul terakhir yang menjadi rahmat bagi semesta alam.
Selain berpuasa pada hari maulidnya, nabi juga melakukan akikah atau menyembelih kambing, sebagaimana beliau juga mengakikahkan putri dan cucunya. Selain puasa, ulama Syiah bernama Sayid Ibnu Thawūs mengatakan, dianjurkan pula untuk bersedekah, berziarah, melakukan amal makruf, dan membahagiakan kaum muslim pada hari maulid nabi.
Kesamaan jumhur ulama Islam dari ahlusunah dan Syiah mengenai hukum memperingati maulid Nabi Muhammad saw. sangatlah penting. Kedua mazhab bisa menyelenggarakan maulid nabi secara bersama-sama sebagai wujud persatuan umat Islam. Hal itu seperti yang sudah biasa dilakukan umat Islam di Mesir, Yaman, Irak, dan Iran. Sedangkan muslim yang mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah dan meyakini maulid nabi itu bidah sebaiknya tetap diundang.