Sewaktu koronavirus mencapai puncaknya, dunia seolah terhenti. Kota-kota penting dunia termasuk pusat ekonomi dan industri menjadi sepi. Warga dunia berdiam dalam rumah mengurung diri. Ada yang mengatakan, alam semesta pulih. Lalu ada seorang ulama yang lantas berujar, “Koronavirus membawa berkah. Virus ini berhasil menghancurkan kesombongan Barat. Korona berhasil meluluhlantakkan keangkuhan orang Barat!”
Menurut ulama itu, orang Barat suka membuat klaim soal ketuhanan karena kemajuan teknologi mereka. Barat seolah bertindak laksana Firaun dengan berkata, “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi. Semua hukum alam tunduk padaku. Dunia tunduk di hadapanku.” Benarkah demikian?
Menurut Mohammad Mohamadrezai, seorang profesor Filsafat Agama Universitas Tehran dan peneliti hauzah ilmiah, jawabannya tidak semudah itu. Dalam kehidupan masyarakat materialistis, ateis, bahkan orang beragama sekalipun, ada saja kejadian yang membuat kita berpikir dan sadar soal kehidupan setelah kematian. Setelah mati, apa yang akan kita alami? Apa yang akan terjadi?
Kita berharap, peristiwa seperti merebaknya koronavirus bisa membangkitkan fitrah tauhid manusia. Membuat kita sadar soal keimanan kepada Tuhan. Percaya soal kehidupan setelah kematian serta nubuat yang diturunkan kepada nabi dan disampaikan kepada manusia. Kemudian cara hidup kita menjadi lebih baik.
Tapi ada juga orang yang terlalu masuk dalam kejahilan. Mereka tenggelam dalam pemikiran materialisme dan ateisme. Terlalu asyik dengan kesenangan duniawi sehingga penyebaran koronavirus tidak membuat mereka sadar. Dalam bahasa Al-Qur’an disebutkan:
إِنَّ الَّذِینَ کَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَیْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا یُؤْمِنُونَ خَتَمَ اللَّهُ عَلَیٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَیٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَیٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِیمٌ
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau beri peringatan atau tidak, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat.
Pada saat yang sama, pandangan materialisme, positivisme, empirisme, dan saintisme terus berkembang. Lalu muncul anggapan kalau sains itu bertentangan dengan agama. Padahal ada perbedaan sudut pandang antara hubungan sains, penemuan hukum alam, dan bidang agama. Terkadang semua itu sejalan dengan keyakinan agama. Sebagai contoh:
- Galileo Galilei (1564-1642), seorang astronom, matematikawan, dan fisikawan asal Italia, percaya bahwa ayat-ayat Alkitab dan ayat-ayat alam adalah firman Tuhan. Penulis buku alam dan Alkitab adalah Tuhan. Tidak ada konflik di antara keduanya. Dengan kata lain, sains dan agama mengungkapkan kebenaran yang sama dengan dua cara yang berbeda, begitu tulis Ian Barbour.
- Donald McKay (1933-1987), filosof dan ilmuwan Inggris, menganggap hubungan antara sains dan teologi sebagai hubungan yang saling melengkapi. Sains menemukan penyebab peristiwa dan teologi bertujuan menjawab makna peristiwa. Hal ini dijelaskan dalam Reason and Religious Belief: An Introduction to the Philosophy of Religion.
Ustaz Morteza Motahhari juga berpendapat serupa. Dia pernah mengatakan, “Ilmu pengetahuan memberikan kita pencerahan dan kemampuan; sementara iman memberikan kita cinta, harapan, dan kehangatan. Ilmu pengetahuan merupakan alat dan iman adalah tujuan. Ilmu pengetahuan memperluas eksistensi manusia secara horizontal serta meningkatkan keimanan secara vertikal.”
Selain itu, ada juga cendekiawan yang memperjuangkan pemisahan total sains dari agama. Mereka tidak percaya ada konflik di antara keduanya. Sebut saja, Karl Barth (1868-1968), Martin Buber (1878-1965), Ludwig Wittgenstein (1889-1951), dan Immanuel Kant (1724-1804). Kant percaya kalau sains dan agama adalah dua bidang yang terpisah. Sains berkaitan dengan akal teoritis, sedangkan agama berkaitan dengan akal praktis.
Menurut kelompok ini, manusia bukan penguasa alam semesta. Kant, yang mengklaim kalau akal teoritis tidak mampu membuktikan alam gaib, berpendapat kalau keimanan pada Pencipta dan natural wisdom dapat menjamin kebahagiaan manusia.
Oleh karena itu, pertama, Barat sendiri tidak memiliki pandangan ateisme yang homogen sehingga dengan mudah bisa kita katakan kalau koronavirus menaklukkan mereka. Kedua, mereka yang membela pemikiran saintifik—bahwa metode ilmiah sebagai satu-satunya cara untuk menemukan semua kebenaran alam semesta dan hukum ilmiah hanya menjelaskan semua kebutuhan material dan spiritual manusia—percaya bahwa penemuan hukum ilmiah memiliki tujuan dan logikanya sendiri.
Tentu saja, bisa kita katakan kalau koronavirus—sampai batas waktu tertentu—mengaburkan hakikat masyarakat Barat. Kita bisa melihat protes orang-orang di negara Barat karena adanya diskriminasi rasial, moralitas egoisme, utilitarian, dan individualistis. Namun tidak ada alasan dan bukti yang cukup untuk meyakinkan kita kalau koronavirus telah menginjak-injak kesombongan dan keangkuhan Barat.