Sami’nā wa atha’nā. “Kami dengar dan kami taat,” begitu kata seorang warga Nahdlatul Ulama (NU). Kalimat itu dicuitkan pasca Pengurus Wilayah NU Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram mata uang kripto (cryptocurrency). Keyakinan dia pada sebuah fatwa seperti itu ternyata bisa mengganggu orang lain. Orang yang mungkin merasa paling berpikiran terbuka. Katanya, “Masih bertanya apa yang salah dengan pendidikan Indonesia?”
Jelas tidak ada yang salah kalau dikaitkan dengan keputusan seseorang untuk meyakini sebuah fatwa. Islam juga puna perintah lain buat penganutnya: menuntut ilmu dan berpikir kritis. Sebagai produk pemikiran hukum Islam, fatwa tidak lahir dengan mudah. Proses istinbat butuh beragam cabang ilmu keagamaan. Terkadang harus dikombinasikan dengan pendapat ahli yang menguasai isu kontemporer. Ya seperti mata uang kripto tadi.
Banyak pertimbangan
Mengkaji sebuah isu dari sudut pandang syariat harus dilihat dari dua perspektif: fikih individual dan fikih pemerintahan. Pemerintahan di sini bermakna luas, termasuk dampak sosial bagi masyarakat. Begitu juga dalam menilai hukum dan kaidah syariat mata uang kripto. Apalagi ekosistem mata uang kripto tidak sederhana: banyak jenis mata uang kripto, kaitannya dengan mata uang lain, transaksinya sebagai komoditas, hingga penambangan (mining) mata uang kripto.
Secara umum, dalam menetapkan fikih mata uang kripto, ada empat prinsip transaksi yang dipertimbangkan: ada atau tiadanya mudarat, garar, memakan harta secara batil, dan riba. Jika dikaitkan dengan fikih pemerintahan, dipertimbangkan pula kaidah lain: lā dharar wa lā dhirār, nafī sabīl, penjagaan terhadap maslahat muslimin, serta keadilan dan anti-kezaliman.
Pro dan kontra
Mata uang kripto disebut sebagai “mata uang digital terdesentralisasi”. Hal itu karena tugas mengontrol dan mengelola mata uang dipegang oleh pengguna—bukan otoritas atau bank sentral. Validitas mata uang kripto disediakan oleh blockchain. Ketiadaan otoritas yang bertanggung jawab inilah yang membuat mata uang ini dianggap garar.
Selain itu, garar juga terjadi jika nilai sebuah transaksi tidak bisa ditentukan secara jelas, baik nominal atau jenis dan kualitas barang. Namun bagi kelompok yang pro, mereka berpendapat nilai mata uang biasa toh juga berfluktuasi, meski memang tidak secepat mata uang kripto. Lagi pula, mata uang biasa dilindungi oleh pemerintah.
Contoh lain untuk melawan mata uang kripto dalam konteks fikih pemerintahan adalah penggunaan kaidah nafī sabīl. Hal itu karena mata uang kripto diduga berhubungan dengan musuh Islam. Natalya Kaspersky bilang, Bitcoin atau dolar 2.0 ini dirancang untuk mendanai kegiatan intelijen Amerika Serikat dan Inggris. Iran sangat mewaspadai, karena itu bank sentralnya melarang Bitcoin pada tahun 2016. Namun ulama yang pro menjawab dengan kaidah al-bayyinah ‘alā al-mudda’ī: mereka yang mendakwa harusnya membawa bukti.
Hujjatul-Islām wal-muslimīn Morteza Torabi berpendapat kalau sifat sosial dari uang dapat diterima dalam Islam. Tidak semua isu sosial harus di bawah kontrol pemerintahan. Cukup dengan pengawasan. Mengikuti urusan sosial yang terjadi di masyarakat bukan berarti kehilangan kedaulatan. Sejarah uang di masa Nabi ﷺ bisa menjadi contoh. Beliau ﷺ tidak mencetak uang, namun berdagang dirham Iran dan dinar Romawi
Pendapat ulama rujukan
Pada tahun 2017, permintaan fatwa transaksi Bitcoin disampaikan kepada sejumlah ulama. Secara umum, pendapat ulama Syiah mengenai hukum mata uang kripto dapat dibagi menjadi tiga kelompok: tidak ada pendapat, tidak setuju atau setuju dengan menjelaskan alasan, atau setuju atau tidak setuju tanpa menjelaskan alasan.
Sebagian besar fukaha tidak menganggap produksi dan jual-beli mata uang digital seperti Bitcoin sebagai haram. Tapi mempertimbangkan ketidakjelasan (ambiguitas) dan kemungkinan mafsadah dari jenis mata uang ini, melakukan transaksi dengannya dipandang bermasalah (eshkal). Mereka mengatakan perlu untuk melakukan perbuatan sesuai dengan hukum atau regulasi.
Berikut ini pendapat atau opini beberapa ulama rujukan keagamaan (marāji’ al-taqlīd) mengenai hukum transaksi menggunakan Bitcoin atau mata uang digital secara umum:
Marja’ Al-Taqlīd | Opini |
---|---|
Ayatullah Makarem Shirazi | Mempertimbangkan banyaknya ketidakjelasan (ambiguitas) yang dikandung dalam transaksi ini, transaksi dengannya bermasalah (eshkal). |
Ayatullah Noori Hamedani | Terdapat masalah (eshkal) dalam mengikuti transaksi tersebut. |
Ayatullah Hashemi Shahroudi | Mempertimbangkan banyaknya ketidakjelasan (ambiguitas) yang dikandung dalam transaksi ini, penggunaan uang ini tidak diperbolehkan. |
Ayatullah Hossein Vahid Khorasani | Membeli dan menjualnya adalah batil. |
Ayatullah Safi Golpaygani | Haram dan hartanya batil. Bitcoin tidak dikenakan pajak dan tidak dapat diperdagangkan, tapi tidak masalah jika diberikan kepada non-muslim dan kita menerima barang pertukarannya. |
Ayatullah Shubairi Zanjani | Jika penggunaan mata uang tersebut dapat menyebabkan kerusakan ekonomi atau ilegal, terdapat masalah (eshkal) dalam membeli atau menjualnya. Jika kredit yang diterima digunakan untuk pekerjaan halal dan legal, tidak ada masalah syariat. |
Ayatullah Hadavi Tehrani | Tindakan apapun untuk menambang (mining) Bitcoin adalah haram. Jika seseorang menambang mata uang kripto jenis ini, dari sisi hukum taklīfī ia telah melakukan perbuatan yang haram namun dari sisi hukum wadh’ī dia merupakan pemilik Bitcoin tersebut. Oleh karena itu, harus segera dikonversi ke dalam mata uang atau komoditas lain. Konversi ini tidak boleh dilakukan dengan mentransfer Bitcoin kepada muslim lain… Oleh karena itu, harus ditransfer kepada non-muslim dan mata uang atau komoditas lain diterima sebagai imbalannya. |
Ayatullah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi di Iran, berpendapat lebih umum: memproduksi dan perdagangan mata uang digital mengikuti hukum dan regulasi di Republik Islam Iran. Nampaknya para mukalid beliau juga harus memperhatikan pendapat marja’ lain.
Tentu diperlukan studi kritis dan komparatif bagaimana isu seperti mata uang kripto ini ditangani di sektor perbankan dan bursa, sebagaimana penggunaan dolar sebagai valuta asing. Penolakan terhadap pemanfaatan teknologi dapat menyebabkan hilangnya kesempatan. Pengharaman mutlak Bitcoin juga dapat menjadi contoh pengabaian maslahat umat. Karena menjadi tidak logis bagi kita untuk menyatakan secara umum bahwa sebuah teknologi adalah haram atau halal.
Referensi:
[1] “Hokm-e Shari Ramz Arzha”. Financial Magazine. 20 Esfand 1397.
[2] “Hokm-e Shari Moameleh…” Hawzah.net. 30-6-1398.
[3] “Hokm-e Shari Arz-e Digital…”. Entekhab. 5 Shahrivar 1399.
[4] “Hokm-e Shari Khared, Forosh,…” Hawzah News. 5 Esfand 1399.
[5] “Estekhraj va Khared va Forosh..” Islam Quest. 20-6-1400.