Tahukah Anda jika pada era kekhalifahan Abbasiyah, penganut mazhab Hanafi dan Syafii di kawasan Irak dan Iran memperingati hari Asyura hampir sama seperti Syiah hari ini? Fakta tersebut hanya contoh bagaimana sosiologi Syiah tidak bisa berdiri sendiri apalagi terpisah dari sosiologi sunnī. Berbicara mengenai sosiologi Islam, kita harus kritis terhadap relasi kedua mazhab besar Islam: Islam sunnī dan Islam Syiah.

Saat ini, kita memandang peringatan Asyura hanya eksklusif kaum Syiah. Negara mayoritas sunnī tidak sering merayakannya. Sebenarnya, mereka menderita semacam keterasingan dari sejarahnya sendiri. Mereka tidak tahu kalau peringatan Asyura itu juga bagian dari tradisi sunnī.

Islam sunnī, Islam Syiah

Klasifikasi studi Islam saat ini sering kali dipolitisasi. Selama berabad-abad, kita diberi tahu kalau ada dua jenis Islam: Islam sunnī dan Islam Syiah. Kita percaya kalau imam yang empat dari ahlusunah hanya khusus bagi sunnī. Akibatnya, muncul anggapan kalau tokoh sunnī muncul dari tradisi yang berbeda dari madrasah ahlulbait.

Padahal faktanya, para tokoh ahlusunah lebih dekat dengan ahlulbait nabi dari yang kita bayangkan. Imam Syāfi’ī, begitu cinta kepada ahlulbait. Selama hidupnya, dia dituduh sebagai seorang rafidhī atau penganut Syiah oleh sunnī radikal. Tanggapan Imam Syāfi’ī, “Jika dengan mencintai ahlulbait menjadi seorang rafidhī, saksikanlah bahwa aku seorang rafidhī.” Ada kalimat masyhur dalam Kitāb Al-Fihrist karya Ibnu An-Nadim:

کان الشافعی شدیداً فی التشیع

Imam Al-Syāfi’ī sangat kuat dalam kesyiahannya.

Dari contoh tersebut, kita bisa melihat kalau ada banyak aspek sejarah di masa awal Islam yang diabaikan akibat pemahaman Islam yang dipolitisasi. Klasifikasi sunnī sebagai “ahlusunah waljamaah” merupakan contoh lain dari klasifikasi politik ini. Dalam kurun awal Islam, banyak muslim sunnī—pada saat yang sama—dianggap sebagai pengikut ahlulbait dan tidak meyakini “sunnī Umayah”.

Embed from Getty Images

Asal mula konflik

Kini, sosiologi Syiah malah menjadi semacam “sosiologi konflik” dengan sunnī. Sejak tahun 90-an, gejolak antara Syiah dan sunnī di dunia Islam meningkat. Konflik tersebut sampai memanifestasikan dirinya dalam bentuk pembunuhan sektarian. Konflik semacam ini memiliki analisis tersendiri dalam sosiologi.

Konflik mematikan ini tak hanya dipolitisasi, namun juga muncul dalam bentuk stereotip dan prasangka. Sebagai contoh, banyak sunnī mengira bahwa Syiah memiliki Al-Qur’an sendiri. Atau sunnī menganggap Syiah menyimpang dalam salat dan gemar mutah. Selain itu, sunnī pesimis karena melihat segelintir ritual Asyura dilakukan dengan cara menyakiti tubuh.

Ada banyak stereotip di kalangan sunnī terhadap Syiah. Untuk memahami sosiologis tentang fenomena ini, kita perlu melihat proses yang terjadi dalam masyarakat sunnī: menuju salafisme secara bertahap. Di banyak negara mayoritas sunnī, pandangan anti-Syiah menyebar karena kecenderungan pemikiran salafī dan Wahabi. Fenomena ini mau-tak-mau berkaitan pula dengan geopolitik Timur Tengah.

Untuk bisa memegang kekuatan regional, Arab Saudi dan Qatar harus berkonflik dengan Iran. Mereka khawatir Iran menjadi kekuatan regional. Mereka lawan dominasi Iran. Jadi, dimensi sosial dari konflik kedua mazhab masih berkaitan dengan kondisi politik regional. Dimensi sosial pun—seperti stereotip dan prasangka sunnī terhadap Syiah—dimanfaatkan politisi.

Sunnī Muhammadī = Syiah ‘Alawī

Bagaimana seharusnya peran sosiologi dalam konteks ini? Sosiologi—dengan pendekatan kritis—harus mengeksplorasi dan mempertanyakan kembali klasifikasi dan stereotip apriori para penganut mazhab. Tidak ada ruang yang cukup untuk bisa menjelaskan kondisinya secara rinci.

Sederhananya, sunnī yang sesungguhnya bukanlah sunnī Umayah. Begitu juga Syiah yang sesungguhnya bukanlah Syiah Safawiyah (Safavi). Sunnī Muhammadī adalah Syiah ‘Alawī. Peran sosiologi yang kritis adalah untuk memperkuat fondasi bahwa sunnī Muhammadī adalah Syiah ‘Alawī.

Artikel ini merupakan ringkasan materi Prof. Farid Alatas dalam konferensi sosiologi Syiah. Farid Alatas merupakan profesor pada Departemen Sosiologi Universitas Nasional Singapura. Beliau merupakan salah satu cendekiawan dan sosiolog masyhur di Asia.

2 respons untuk ‘Bukan Sunnī Umayah, Bukan Pula Syiah Safawiyah

  1. Masa sih sekaliber Prof FARID ALATAS tdk mencermati siapa ibn Nadim dan pendapatnya mengenai Imam Syafi’i رحمة الله عليه.

    Imam Asy-Syafi’i: Pada suatu kesempatan Imam Syafi’i berkata tentang Syi’ah, “Saya belum pernah melihat di antara orang-orang sesat yang lebih terkenal kebatilannya daripada Syi’ah Raafidi.” dan pada kesempatan lain dia berkata;

    “Riwayatkanlah ilmu dari setiap orang yang kamu temui kecuali Raafidi Syi’ah, karena mereka mengada-adakan hadits dan mengadopsinya sebagai bagian dari agama mereka.”

    Itulah ketegasan Imam Syafii thdp aliran Syiah.

    Sementara istilah Sunni Umayyah itu hanya buatan kaum rofidhoh yg hampa.

    Jangan tdk di muat tulis an ini.

    1. Pernyataan yg dinisbahkan kepada Imam Syāfi’ī itu muncul dalam buku Ibnu Taimiyah. Jelas Imam Syāfi’ī bukan rafidhī namun menarik jika Imam Syāfi’ī mengaosiasikan dirinya dengan kelompok yg menurut pernyataan yg Anda kutip “batil” dan “mengada-adakan hadis”. Artinya makruf bahwa rāfidhah adalah pecinta ahlulbait terkhusus Imam ‘Alī dan Imam Syāfi’ī tidak peduli dengan cap/pelabelan orang-orang sebagai rāfidhah sebagaimana Anda melabeli istilah sunnī Umayah buatan rāfidhah. Imam Syāfi’ī dalam dīwān-nya bersyair:

      قالوا تَرَفَّضتَ قُلتُ كَلّا // ما الرَفضُ ديني وَلا اِعتِقادي

      لَكِن تَوَلَّيتُ غَيرَ شَكٍّ // خَيرَ إِمامٍ وَخَيرَ هادي

      إِن كانَ حُبُّ الوَليِّ رَفضاً // فَإِنَّ رَفضي إِلى العِبادِ

      Mereka katakan “Engkau rāfidhah“, aku berkata “Tidak”
      Tidaklah aku menolak agama atau keyakinanku
      Namun tiada ragu aku mencintai/ber-wilayah
      Kepada sebaik imam dan sebaik pemberi petunjuk
      Jika mencintai sang wali berarti rāfidhah/menolak
      Maka aku rafdhī/menolak para hamba.

      Ketegasan para imam mazhab dan pengikutnya kepada mazhab lain saya pikir sangat jelas. Bisa di lihat dalam Tārīkh Baghdād, bagaimana komentar Imam Syāfi’ī tentang Imam Abu Hanīfah. Atau bagaimana ulama mazhab yang empat ingin mengambil jizyah dari pengikut mazhab yang lain, padahal jizyah hanya diambil dari non-muslim. Atau Silsilah A’immah Al-Fiqh Al-Islāmī lil-Fityān menyebut jika Imam Syāfi’ī diserang radikalis Maliki sehingga ada yang menyebut sebagai salah satu penyebab kesyahidannya.

      Pendapat seorang alim atas keyakinan mazhab yang lain bukan satu-satunya tolak ukur apakah mazhab yang lain batil atau tidak.

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.