Seorang dai Syiah memuji sahabat nabi, Khālid bin Walīd, sebagai seorang ahli strategi perang yang sukses. Selesai ceramah, panitia penyelenggara meminta sang dai untuk “mengklarifikasi ucapan tentang Khālid”. Sayyid Ali Imran, dai muda itu, bingung. Mengapa ucapannya memerlukan klarifikasi? Panitia bilang, pujian terhadap Khālid mengesankan dia sebagai figur yang baik. Bertolak belakang dengan persepsi umum Syiah bahwa Khālid pernah mengkhianati ‘Alī bin Abī Thālib.

Bagi Sayyid Ali, ada masalah dalam cara kita mendidik masyarakat tentang agama. Salah satunya adalah penyederhanaan yang berlebihan atas sejumlah isu. Meski banyak dari kita tidak tertarik dengan perbedaan yang kecil dan teknis, tapi ada aspek yang tidak boleh terlalu disederhanakan. Sebuah dogma yang dibangun atas penyederhanaan berlebihan akan hancur dengan mudah setelah “nuansa” atau “kebenaran” tersingkap. Bahkan, di beberapa cendekiawan dan pelajar muncul sentimen bahwa “kita tidak dapat mengungkap setiap kebenaran secara detail kepada masyarakat”.

Salah satu kelemahan dari cara kita mendidik masyarakat adalah tidak membiarkan mereka melihat figur dan peristiwa melalui dua lensa: positif dan negatif. Sebaliknya, kita membatasi pengamatan, pemahaman, dan analisis mereka pada satu lensa. Inilah bias kognitif yang masing-masing dikenal sebagai halo effect (efek halo) dan horn effect (efek tanduk iblis).

Kita ambil contoh: jika Syiah tidak sependapat dengan tindakan Khalifah Abū Bakar dan ‘Umar serta menganggap mereka telah merampas hak Imam ‘Alī, keduanya tidak hanya dipandang buruk tapi seluruh hidupnya dilihat dengan lensa negatif. Seolah tidak ada kebaikan yang pernah mereka tunjukkan. Kita bisa lihat dalam teori konspirasi yang berkaitan tokoh tersebut. Dikatakan bahwa beberapa tokoh tidak tulus sejak hari pertama mereka masuk Islam di Makkah. Mereka berencana mengambil alih kendali umat Islam untuk mengantisipasi keberhasilan nabi.

Tentu, tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa tuduhan seperti itu sebenarnya mengandung pujian. Artinya ada pengakuan bahwa pandangan para tokoh itu jauh ke depan dan entah bagaimana menganggap Nabi tidak mampu mendeteksinya selama hampir dua dekade.

Hal serupa juga terjadi pada Syiah yang menghadapi serangan beruntun dari sejumlah sunnī Barat di dunia maya. Seolah, segala sesuatu yang dilakukan Syiah hanyalah kejahatan. Pernyataan tokoh Syiah dikutip dan dipotong lalu dikemas secara negatif. Mereka memberi kesan jika mazhab Syiah tidak pernah melahirkan ulama yang berpengaruh dalam sejarah. Ini merupakan bentuk penyederhanaan berlebihan atas warisan dan ilmu pengetahuan mazhab Syiah yang berusia lebih dari seribu tahun. Semua itu karena mereka melihat dengan satu lensa: negatif.

Embed from Getty Images

Hal yang sebaliknya, juga demikian.

Ketika kita melihat pribadi tertentu yang kita sukai dan hormati, kita hanya melihat mereka dengan satu lensa: positif. Kita tidak peduli dengan fakta kalau mereka punya kekurangan, cela, dan bahkan berbuat salah. Kita ambil contoh Mukhtār Ats-Tsaqafī. Dia memiliki kebaikan karena berhasil menghukum pembunuh Imam Husain a.s. Namun literatur hadis Syiah menganggapnya sebagai pribadi yang problematik.

Contoh yang lebih ekstrem, ada beberapa figur yang sama sekali tidak pantas untuk dihormati: misalkan orang kafir bernama Abu Lu’lu yang membunuh Khalifah ‘Umar. Namun segelintir penganut Syiah mengaguminya karena satu perbuatan yang dianggap baik. Mereka berlebihan bahkan menganggapnya sebagai orang saleh. Lalu mereka buat makam palsu di daerah Kashan, Iran. Inilah akibat jika kita membatasi pandangan dengan satu lensa.

Hal seperti itu juga terjadi di ahlusunah. Karena keyakinan terhadap ‘adālah (keadilan) para sahabat, jumhur ulama ahlusunah secara eksplisit menulis bahwa kesalahan para sahabat tidak boleh dibicarakan karena dapat menimbulkan keraguan di masyarakat awam. Jika kita menyembunyikan hal seperti itu selama berabad-abad, pada akhirnya hanya menciptakan sebuah dogma. Pemahaman terhadap sejarah dan peristiwa yang terjadi di dalamnya akan keliru dan menyesatkan. Tinggal menunggu waktu ketika keimanan seseorang akan hancur begitu mereka menemukan kebenaran.


Sayyid Ali percaya, umat Islam saat ini memiliki kesempatan yang baik untuk memperoleh pendidikan agama yang komprehensif. Pendidikan yang tidak mengandung prasangka dan interpretasi atas sebuah peristiwa. Sangat jarang ada manusia yang sempurna tanpa cacat atau sepenuhnya jahat. Bias kognitif akan menghambat perbaikan umat karena menjadikan ulama tidak mampu menyelidiki sirah nabi dengan cara yang paling otentik.

Jika kebenaran terhalang oleh satu lensa, seorang ulama akan gagal meraih pelajaran dan hikmah untuk menghadapi permasalahan dunia saat ini. Risalah agama akan menjadi dangkal dan sering kali tidak berguna untuk mengatasi kompleksnya permasalahan yang kita hadapi saat ini.

Referensi:

Ali, Sayyid (30 Januari 2021). “The Halo And Horn Effect In Studying Islamic Personalities & Events.” Iqra Online.

Satu respons untuk “Halo Effect dan Horn Effect dalam Memahami Sejarah Islam

  1. Bener sekali Reza…ulama atau penulis harus beimbang dengan tokoh yg di bawakan…karna klu dri satu sisi…saja yg di tonjolkan…kasiaan jga generasi berikut mengetahui tokoh tp tidak obyektif

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.