Cerita berawal pada tahun 2005. Saat itu, Hassan Al-Mustafa, seorang jurnalis asal Arab Saudi, berkunjung ke rumah Sayid Hani Fahs di selatan Beirut. Sayid Hani adalah seorang anggota Majelis Islam Syiah Tertinggi di Lebanon, meski kerap mengkritik Hizbullah. Tahun 2009, dia masuk dalam daftar 500 Muslim Paling Berpengaruh versi sebuah lembaga di Yordania. Karena sakit berkepanjangan, Sayid Hani wafat pada tahun 2014.
Saat kunjungannya itu, Hassan sangat menikmati diskusi dengan Sayid Hani. Abu Hassan—panggilan Sayid Hani—berbicara soal visinya tentang “otoritas keagamaan” di Najaf, Irak. Bagaimana hauzah Najaf bisa bangkit sejak dipimpin Ayatullah Ali Al-Sīstānī, pasca wafatnya Ayatullah Agung Abu Al-Qasim Al-Khoei. Ucapan Sayid Fahs bahwa “Sistani adalah seorang penjaga moderasi” terus terngiang di benak Hassan Al-Mustafa. Pernyataan tersebut menghapus keraguannya soal sejarah modern Irak, di bidang politik, sosial, dan keamanan.
Landasan yang sama
Meski berbeda mazhab, Syekh Bin Bayyah dan Ayatullah Sīstānī adalah ulama yang sepaham soal beberapa hal. Sayid Sīstānī—alim Irak yang lahir di Iran—dan Syekh Bin Bayyah—alim Emirat yang lahir di Mauritania—ditakdirkan untuk memainkan peran sensitif. Peran itu tidak mungkin terjadi kalau keduanya tidak mampu menahan diri, mengendalikan emosi, dan memprioritaskan kepentingan publik. Pribadi yang tenang, berkepala dingin, dan menolak ditarik oleh sentimen publik. Berikut ini sejumlah titik temu antara Sayid Sīstānī dan Syekh Bin Bayyah:
- Percaya pada negara (civic state) di mana pemerintahan adalah masalah yang sekularis. Hal tersebut didasarkan pada hak prerogatif kepala negara.
- Penerapan kedaulatan hukum (siyādah al-qanūn), kewarganegaraan, dan penghormatan hak asasi manusia diserahkan pada lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang diberi mandat.
- Hak asasi tidak eksklusif milik “muslim”. Negara wajib menjamin hak semua warga—tanpa diskriminasi—termasuk memberikan perlindungan, pendidikan, jaminan sosial, hingga memperoleh pekerjaan. Tidak ada nepotisme; jabatan hanya diperoleh berdasarkan kompetensi dan integritas.
- Kerja sama, pemahaman, dan dialog adalah cara paling aman untuk menyelesaikan perbedaan. Tidak ada penggunaan kekerasan atau paksaan dalam berpendapat.
- Menjaga keamanan kawasan dan menghindarkannya dari konflik politik dan sektarian. Tidak boleh ada milisi bersenjata di luar kekuasaan negara. Tidak boleh pula ada “intimidasi” yang dilakukan suatu pemerintahan melawan yang lainnya.
- Percaya pada kedaulatan negara (siyādah al-daulah) dan penolakan terhadap intervensi negara manapun. Campur tangan negara lain akan merusak keamanan dan stabilitas regional, bahkan memperumit masalah internal.
- Mendesak ulama untuk mengambil peran dalam memberi bimbingan, pengajaran, dan peningkatan spiritualisme. Urusan politik hanya diambil dalam arti luas, tanpa terlibat dalam polarisasi dan konflik.
- Menolak penggunaan “agama” sebagai alat politik. Perlu ditekankan jika sifat “agama” sebagai ibadah dan urusan sosial dan bukan kunci untuk kepentingan politik.
- Menekankan jika seluruh muslim, terlepas dari doktrin dan mazhab, adalah orang beriman. Tidak boleh ada yang dianggap murtad sehingga kehidupan, harta, dan harga diri mereka dicerabut. Oleh karena itu, paham takfiri dan retorika radikalisme, harus dilawan.
- Berkomunikasi secara hormat dengan agama lain dan bersikap terbuka. Memberi kesempatan kepada penganut agama lain untuk menjalankan ibadahnya dan membangun tempat ibadah mereka, tanpa hambatan.
Poin di atas merupakan “tulang punggung” visi Syekh Bin Bayyah dan Ayatullah Sīstānī. Keduanya punya tujuan yang sama, meski ada perbedaan dalam beberapa detail atau cara melaksanakannya. Tujuan akhir mereka adalah: mencapai perdamaian, menghindari perang dan konflik, melawan retorika sektarian dan fanatisme, dan membangun negara modern, maju, dan aman.
Niat baik memang tidak pernah cukup. Kerja adalah kunci dari semua pencapaian tersebut. Langkah pertama telah diambil dalam perjalanan sejauh seribu mil. Tujuan besar bisa diperoleh jika kedua alim ini menggabungkan kekuatan yurisprudensi, spiritual, dan popularitas mereka.
Referensi:
[1] Al-Mustafa, Hassan (23-10-2020). “Mādzā law ijtama’ Al-Sīstānī…” Al-Nahar Al-Arabi.
[2] Al-Mustafa, Hassan (29-10-2020). “Al-Sīstānī wabn Bayyah…” Al-Nahar Al-Arabi.