Tidak ada satupun dari kita yang mengira. Manusia abad ini telah mencurahkan waktu dan jerih upaya untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Mereka telah memikirkan cara untuk mencapai planet demi planet. Mereka membayangkan untuk bisa menciptakan koloni baru di Mars, karena populasi berlebih di muka bumi. Bahkan mereka menciptakan manusia artifisial, non-biologis untuk membantunya.

Namun, manusia menjadi sombong. Kita melupakan jati diri dan Sang Pencipta. Alih-alih menerapkan nilai-nilai ketuhanan, kita justru bertindak seperti Tuhan. Abū-Muhammad Saadi Shirazi pernah bersyair:

رسد آدمی به جایی که بجز خدا نبیند

Biarkan manusia mencapai tempat di mana dia tidak melihat kecuali Tuhan.

Manusia memiliki interpretasi yang berbeda. Melalui alat yang membuatnya bisa mengkreasikan sesuatu, kita mengklaim menciptakan, bukan menemukan atau mengeksplorasi. Sesuatu diperoleh dengan jentikan jari yang Tuhan berikan kepada manusia melalui penciptaan alam semesta.

Sebuah entitas yang kecil dan tak terlihat, mengingatkan kita bahwa setiap ciptaan ada pemiliknya. Semua makhluk di alam semesta adalah ciptaan-Nya. Segala ciptaan beserta hukum alamnya harus dihormati.

Embed from Getty Images

Koronavirus mengajarkan kepada kita: manusia harus lebih banyak belajar di hadapan kebesaran Tuhan. Selama perjalanan hidup, jangan pernah sekalipun lupa untuk melihat Sang Pencipta. Jika Tuhan mengambil inayat dan kasih sayang-Nya sekejap saja, manusia—dengan segala keangkuhannya—tidak akan berdaya.

Koronavirus mengingatkan kita bahwa selama bertahun-tahun, ego manusia menciptakan beragam batasan. Membawa manusia menuju superioritas semu. Ketika manusia menjadi kuat, mereka melupakan diri mereka sendiri. Kini ada sebuah rasa sakit yang dirasakan bersama yang perlu ditangani oleh semua manusia.

Ancaman itu bukan apa yang kita pikirkan, tapi segala sesuatu yang membahayakan keamanan umat manusia. Misalnya koronavirus, pencemaran lingkungan, dan sebagainya. Saat ini, kita seharusnya memikirkan tentang jati diri dan eksistensi sebagai umat manusia. Bukan tentang mendominasi sesama manusia. Dengan memahami pentingnya berbagi nasib yang sama dengan manusia lain, kita harus memikirkan tentang keamanan dan kesejahteraan umat manusia.

Koronavirus membuktikan jika Amerika Serikat bukan negara nomor satu di dunia. Anggapan bahwa kejayaannya bersumber dari rasa percaya diri adalah keliru. Kini, Amerika Serikat sama rentannya dengan negara lain di hadapan koronavirus, bahkan mungkin lebih rentan.

Koronavirus seperti mendirikan pusat budaya di dunia, tanpa mengadakan kompetisi atau pameran produk budaya. Ia berhasil menunjukkan bahwa beberapa negara dunia pertama tidak berbudaya. Mereka hanya mencitrakan, berpura-pura sebagai negara baik. Jika dunia akan dibagi lagi menjadi negara dunia pertama, kedua, atau ketiga, banyak posisi negara dan bangsa yang harus diubah.

Embed from Getty Images

Koronavirus mengajari kita bahwa staf medis di negara manapun jauh lebih berharga daripada selebritis di berbagai bidang. Kita harus meninjau kembali cara pandang kita pada nilai-nilai dan membuat rencana baru mengenai hal itu.

Kita menyadari bahwa bumi tidak membutuhkan kita. Hidup dan kesehatan kita bergantung pada kesehatan bumi. Marilah kita berhenti merusak alam dan menghormati hukum alam yang telah ditetapkan para utusan Tuhan. Kita melihat sendiri kalau bumi dengan cepat membangun kembali dirinya tanpa mengharap kehadiran manusia.

Di bidang ekonomi, kita belajar bahwa signifikansi dan nilai dari segala sesuatu bergantung pada permintaan, bukan nilai yang dimilikinya. Selama beberapa bulan terakhir, sejumlah barang berharga menjadi komoditas bernilai rendah karena kurangnya permintaan. Semua itu menunjukkan bahwa segala nikmat yang diberikan Tuhan harus digunakan dengan cara yang benar. Semua ditujukan untuk melayani manusia dan alam, bukan untuk mengubahnya menjadi alat eksploitasi dan dominasi.

Karantina mengingatkan kita bahwa banyak gaya hidup dan perilaku dapat diubah. Hidup tanpa orang lain akan menghilangkan keindahannya. Fasilitas pribadi dan kebutuhan dasar seperti makanan dan pakaian saja tidak dapat membuat kita bahagia. Karena itu, kita harus memandang semua orang yang melintasi dunia ini dengan rasa hormat dan cinta. Kita harus memberikan makna kepada orang lain: jadilah mata agar orang lain dapat melihat.

Catatan Dr. Davood Ameri, Sekretaris Jenderal Islamic World Peace Forum, mengenai pandemi Covid-19 yang dimuat Tasnim News.

Komentar Anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.