Seperti remaja Persia umumnya, Amir Khotvaneh mencintai dunia syair. Benih kecintaannya sudah ada sejak kecil. Saat kelas tiga sekolah dasar, Amir kecil sampai menangis saat membaca kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha. Semakin terbiasa dengan syair, Amir mulai menulis bait syair saat remaja. Tema puisinya bernuansa mistisme dan romantisme. Bukan, bukan cinta lawan jenis, namun cinta abadi mengenai Tuhan dan utusan-Nya. Kini, Amir Khotvaneh merupakan penyair sunnī kenamaan kota Sarakhs.
Sarakhs hanya kota kecil di Provinsi Khorasan Razavi yang berbatasan dengan Turkmenistan. Meski kecil, namun kaya akan sejarah yang dilalui selama lebih dari 2500 tahun. Sempat dihancurkan Mongol, dibangun lagi oleh Dinasti Qajar, namun diinvasi lagi oleh bangsa Turkmen. Abū Bakar Al-Sarakhsyī, ulama kenamaan sunnī bermazhab Hanafi, berasal dari kota ini. Dia dijuluki Syamsul-A’immah (Matahari Para Imam).
Namun bagi Amir dan masyarakat sunnī di kota Sarakhs, ada matahari sejati yang menyinari Islam dan Iran. Syekh Abdul-Qādir Al-Jailanī, seorang seorang alim ahlusunah, bahkan menulis syair tentang figur ahlulbait tersebut. Dia adalah Imam ‘Alī bin Mūsā Al-Ridhā. Meniru Syekh Gilani tersebut, Amir Khotvaneh juga menulis syair tentang Imam Ridhā:
مظهر سر الهی حضرت شمس الشموس/ بر در او نامدارن جهان اند خاکبوس
در حقیقت او به تخت حکم حق دارد جلوس/ خلق عالم خادم و او هست سالار نفوس
Bukan milik Syiah
Setiap orang yang mendatangi singgasana Imam Ridhā akan membungkuk. Baik dia orang terpandang atau tak dikenal; presiden atau orang miskin. Semua itu karena karamah yang Allah berikan kepada Imam Ridhā. Warga Sarakhs meyakini para wali (aulia) Allah seperti keimanan kepada Allah dan agama Islam. Mereka meminta pertolongan Allah dan menjadikan Imam Ridhā sebagai wasilah.
Imam Ridhā mencintai masyarakat dan mereka membalas cinta Imam. Mereka saling mengorbankan diri. Daya tarik ini bukan milik Syiah atau sunnī. Mereka yang mengabdi kepada Imam berasal dari berbagai kelompok dan agama. Semua orang berbicara kepada Imam Ridhā dengan bahasanya masing-masing: Persia, Arab, Baluchi, dan Zabuli.
Syekh Ahmad Jami
Mistikus besar daerah Khorasan, Syekh Ahmad Jami, pernah berencana menziarahi Imam Ridhā. Istrinya lalu meminta dibelikan sebuah gunting dari kota Mashhad. Syekh Ahmad berjalan menuju Mashhad, membeli gunting, dan kembali ke daerah asalnya, Torbat-e Jam. Sampai di rumah, istrinya berkata, “Semoga ibadah ziarahmu diterima (ziarat qubool).”
Syekh Ahmad berkata, “Saya tidak pergi untuk berkhidmat kepada Imam Ridhā a.s. sebab engkau memesan gunting, lalu saya membelikannya. Saya tidak pergi untuk berziarah. Saya pergi untuk sebuah gunting.” Akhirnya, Syekh Ahmad kembali lagi ke Mashhad untuk berziarah kepada Imam Ridhā. Sampai di desa Tappeh Salam, Syekh Ahmad mengucapkan, “Assalamualaikum, wahai putra Nabi.” Syekh Ahmad mendengar Imam Ridha menjawab, “Ziarahmu diterima, wahai Syekh Jam.”
Ziarah lalu ke dokter
Ayah Amir Khotvaneh pernah berpesan kepadanya, “Jika kamu sakit, pertama berziarahlah kepada Imam Ridhā, barulah ke dokter.” Bagi masyarakat Iran, Imam Ridhā ibarat awan pembawa rahmat. Jika tidak ada Imam Ridhā, orang Iran tidak akan ada. Ketika Rusia menginvansi kawasan tersebut, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Imam Ridhā menjadi wali bagi rakyat Iran. Bukan hanya makamnya, tetapi eksistensi Imam Ridhā. Bagi rakyat Iran, Syiah atau sunnī, Imam Ridhā dan para keturunan nabi bagaikan matahari yang bersinar.
Warga kota Sarakhs seperti keluarga yang warganya saling terhubung. Putra Amir Khotvaneh, seorang sunnī, menikahi wanita Syiah. Di Sarakhs, mereka duduk bersama dalam acara keagamaan. Dalam acara suka atau duka, mereka tidak mencari siapa Syiah, siapa sunnī. Setiap orang menjadi saudara. Amir berharap, anak-anak muda juga menapaki jalan Islam dan persatuan. Menyalakan lampu persatuan untuk menerangi masyarakat.