Banyak ulama telah mengamati berbagai perpecahan yang merasuki umat Islam. Berawal dari prasangka, namun bisa berakhir pada kebencian dan pembunuhan di antara kaum muslimin. Karena itu, mereka mencurahkan perhatian pada gagasan tentang pendekatan mazhab Islam. Mereka adalah para ulama yang berjuang untuk mewujudkan persatuan umat Islam. Salah satu ulama tersebut adalah Dr. Ahmed Abdel Rahim Al-Sayeh.
Cendekiawan jebolan Universitas Al-Azhar itu mengatakan, upaya pendekatan ini bukan sekadar keinginan, tapi juga komitmen. Komitmen yang diawali dengan kesadaran bahwa telah tercipta jarak di antara umat Islam sehingga diperlukan pendekatan (taqrīb). Sebab umat Islam sejatinya bersatu atas prinsip Islam: satu Tuhan, satu kiblat, dan satu penutup para nabi.
Bagi Dr. Al-Sayeh, kemunculan dan perkembangan mazhab Syiah dan ahlusunah saling berkaitan. Imam Ja’far Al-Shādiq adalah guru dari dua imam mazhab sunnī: Imam Abū Hanīfah dan Imam Mālik. “Mungkinkah hubungan antara para murid dengan guru itu tidak bersahabat?” katanya.
Ulama zaman dahulu itu jauh dari sikap fanatisme mazhab. Mereka saling menghormati pendapat dan karya masing-masing. Masalahnya adalah sikap fanatisme di tengah masyarakat yang begitu kuat. Perbedaan antara mazhab Maliki dan Hanafi di Mesir, misalnya, jauh lebih kuat daripada perbedaan antara Syiah dan sunnī. Pelajar bermazhab Hanafi dan Maliki bahkan pernah terlibat pertikaian. Semua ini menunjukkan bahaya perilaku menonjolkan sambil membanggakan perbedaan mazhab.
Salah satu riwayat tentang perpecahan kaum muslimin yang masyhur dan kerapp dinisbatkan kepada Nabi ﷺ: “Umatku akan berpecah menjadi 73 golongan, seluruhnya berada di neraka kecuali satu.” Bagi Dr. Al-Sayeh, sangat tidak mungkin nabi ﷺ mengatakan hal itu. Kelompok fanatik sengaja menciptakan riwayat itu agar mudah mengkafirkan kelompok lain dan mengklaim keselamatan ada pada pendapat mereka.
Kelompok yang gemar mengkafirkan, ekstremis, dan ahli bidah menggunakan riwayat palsu untuk memecah belah dan membangkitkan teror di antara mazhab Islam. Kata Dr. Al-Sayeh, “Bagaimana mungkin Nabi ﷺ mengatakan hal itu, sedangkan lebih banyak hadis yang mengatakan bahwa Allah ﷻ mengeluarkan dari neraka orang yang bersaksi tentang keesaan Allah ﷻ dan kenabian Muhammad ﷺ?” Bahkan Al-Qur’an sendiri secara eksplisit mengatakan bahwa umat Islam adalah umat yang satu.
Di ranah pendekatan mazhab, diperlukan upaya ekstensif untuk mempertegas bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara Syiah dan sunnī. Perbedaan di antara keduanya sama seperti perbedaan antara Hanafi dan Maliki. Syekh Mahmud Shaltut mengatakan bahwa secara syariat beribadah dengan mazhab Syiah sama seperti mazhab ahlusunah.
Pada masa Gamal Abdel Nasser, Dewan Tertinggi Urusan Islam menyusun ensiklopedia fikih yang memuat pendapat fikih mazhab Syiah—Zaidiah, Ismā’iliah, dan Imāmiah—bersama-sama dengan pandangan fikih mazhab sunnī. Sebenarnya, penggunaan nama “ahlusunah” sendiri pada awalnya berlandasan politis; bukan agama. “Mengapa disebut sebagai ahlusunah dan bukan ahlul-qur’an?” kata Dr. Al-Sayeh. Penyebutan ini karena situasi yang terjadi pada abad ketiga hijriah.
Kemunculan berbagai mazhab—baik fikih maupun teologi—tidak terlepas dari akibat perbedaan ijtihad. Ayat Al-Qur’an itu hidup; tidak kaku. Sehingga implikasinya, tersedia ruang untuk berbagai pemahaman. Ijtihad sebagai sebuah proses sangat penting untuk memahami Al-Qur’an. Jika tidak ada ijtihad, peradaban Islam akan terhenti.
Perbedaan ijtihad sebenarnya ada dalam setiap agama. Nantinya, ratusan tahun dari sekarang, orang-orang juga akan memahami Al-Qur’an dengan cara berbeda dari yang kita lakukan hari ini.
Artikel ini merupakan rangkuman wawancara dengan Dr. Ahmed Abdel Rahim Al-Sayeh, cendekiawan ahlusunah asal Mesir. Lahir pada tahun 1937, Dr. Al-Sayeh menjadi profesor di Fakultas Usuludin Universitas Al-Azhar, asisten profesor di Universitas Qatar, profesor di Universitas Umm Al-Qura, dan beberapa jabatan penting di kementerian dan lembaga Mesir.