Banyak hal yang dapat menyatukan kaum muslimin dari berbagai mazhab. Bulan Ramadan termasuk di antaranya. Di bulan ini, kaum muslimin berlomba melakukan beragam amal ibadah terbaik. Salah satunya adalah salat di malam hari bulan Ramadan. Mayoritas kaum muslim—mazhab ahlusunah—menyebutnya dengan nama salat tarawih. Lalu bagaimana dengan mazhab Syiah?
Bagi kelompok yang gemar perselisihan, beragam kesempatan untuk bersatu akan diabaikan. Mereka akan klaim, salat tarawih versinyalah yang paling sesuai sunah; mulai dari tata cara, bacaan, atau jumlah rakaatnya. Tentu mereka akan lebih mudah lagi mengatakan jika kelompok yang tidak mengamalkan tarawih sebagai kelompok menyimpang, bahkan menyamakan perkara tersebut sebagai penyimpangan akidah.
Menurut ahlusunah
Tarawih berasal dari kata al-rāhah yang berarti istirahat atau diserap menjadi rehat. Disebut tarawih karena ada jeda waktu istirahat di setiap selesai dua rakaat. Jumhur ahlusunah mengatakan, salat tarawih adalah sunah dan melakukannya di masjid lebih utama.
Meski demikian, tidak ada satupun hadis yang menyebut istilah “tarawih”. Hal itu karena pelaksanaan salat tarawih seperti sekarang tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad ﷺ ataupun Khalifah Abu Bakar. Istilah yang dikenal saat itu adalah qiyām Ramadhān atau salat (malam) bulan Ramadan. Dalam hadis muttafaqun ‘alaih dikatakan:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيماناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melakukan salat di bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharap pahala, pasti diampuni dosanya yang telah lalu.
Salat di malam bulan Ramadan ini tidak diwajibkan Rasulullah ﷺ. Pernah suatu ketika, Jābir bin ‘Abdullāh Al-Anshārī dan sahabat lain menunggu nabi selesai qiyām Ramadhān sampai waktu fajar. Sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami menunggumu tadi malam dengan harapan engkau salat bersama kami.” Nabi ﷺ menjawab, “Sungguh aku khawatir kalau akhirnya salat tersebut menjadi wajib bagimu.”
Kebiasaan Nabi ﷺ untuk melakukan qiyām Ramadhān itu tetap terjaga sampai kemudian beliau wafat. Ibnu Syihāb berkata:
فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ، ثُمَّ كَانَ الأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ فِى خِلاَفَةِ أَبِى بَكْرٍ وَصَدْرًا مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ
Kemudian Rasulullah wafat dan perkara tersebut tetap terjaga, keadaan tersebut berlanjut pada masa kekhalifahan Abu Bakar, dan awal-awal kekhalifahan ‘Umar.
Pada tahun kedua kekhalifahan ‘Umar bin Khaththab, ‘Abdurrahman bin ‘Abdul-Qārī jalan bersama khalifah di malam bulan Ramadan. Sampai di sebuah masjid, mereka melihat orang-orang salat sendirian dan ada pula yang berkelompok (al-rahth). Khalifah ‘Umar berkata, “Aku pikir seandainya mereka semuanya berjemaah dengan dipimpin seorang qari (imam), itu lebih baik.”
Pada malam setelahnya, ‘Abdurrahman keluar lagi bersama Khalifah ‘Umar dan melihat orang-orang salat dipimpin seorang imam. Khalifah ‘Umar lalu berkata:
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ، وَالَّتِى يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِى يَقُومُونَ
Sebaik-baiknya bidah adalah ini. Mereka yang tidur terlebih dahulu lebih baik dari pada yang salat awal malam.
Mengenai jumlah rakaat salat tarawih yang lebih afdal, ulama ahlusunah berselisih pendapat. Ada yang mengatakan 11, 13, 21, 23, atau 39 rakaat. Meski demikian, pada dasarnya tidak ada batasan tertentu dalam jumlah rakaat salat tarawih.
Menurut Syiah
Tarawih sebagaimana tradisi ahlusunah tersebut tidak dikenal dalam khazanah fikih Syiah. Hal tersebut bukan karena Syiah anti-tarawih. Muslim Syiah tetap melakukan salat sunah malam di bulan Ramadan, namun tidak dilakukan secara berjemaah. Hal tersebut bukan pula karena Syiah menolak ijtihad Khalifah ‘Umar, namun karena ingin mengikuti tradisi yang diajarkan Nabi Muhammad ﷺ.
Apa yang dikatakan oleh Khalifah ‘Umar sebagai bidah tersebut juga dikatakan oleh Rasulullah. Dalam Tahdzīb Al-Ahkām dan Man Lā Yahdhuruhul-Faqīh diriwayatkan, jika setelah salat Isya di masjid, Nabi ﷺ pulang ke rumah. Lalu beliau kembali ke masjid pada akhir malam. Orang-orang berusaha ikut salat di belakang nabi, namun beliau menghindari mereka.
Orang-orang melakukan itu pada tiga malam pertama bulan Ramadan, sehingga pada malam keempat, beliau naik mimbar. Setelah memuji Allah, Nabi ﷺ berkata:
أيّهَا النَّاس إنّ الصَلَاة بِاللَيْل فِي شَهْرِ رَمَضَان من النَافِلَة في جَمَاعَةِ بِدْعَة
Wahai manusia, sesungguhnya salat malam di bulan Ramadan termasuk nafilah (sunah, jika) dengan berjemaah adalah bidah.
Jumlah rakaat salat sunah malam di bulan Ramadan menurut muslim Syiah juga terdapat beberapa riwayat. Dalam Wasā’il Al-Syī’ah, Imam Ja’far Al-Shādiq a.s. mengatakan jika datuknya, Rasulullah ﷺ, salat sunah di malam Ramadan sebagai berikut: 20 rakaat pada 20 malam pertama, 30 rakaat pada 10 malam terakhir; pada malam ke-21 dan ke-23, beliau menunaikan salat sunah 100 rakaat.
Seluruh mazhab Islam menyepakati kemuliaan bulan Ramadan. Khalifah ‘Umar berhasil meningkatkan kesadaran kaum muslimin akan kemuliaan bulan Ramadan. Pada bulan Ramadan, lebih banyak orang menaruh perhatian salat sunah di masjid jika dibandingkan salat wajib di bulan selainnya. Meski ada sedikit perbedaan dalam caranya, baik sunnī maupun Syiah tetap mengisi malam mulia tersebut dengan salat sunah, mengharapkan ampunan dan rahmat Allah Swt.