Khatib salat Jumat Masjid Fathul-Mubīn di Provinsi Babil, Irak, pada 8 April 2022 silam tak seperti biasanya. Seorang pemuda necis dengan setelan jas berwarna cokelat lengkap dengan dasinya. Tak hanya penampilan, khotbahnya pun juga mengherankan, terutama bagi muslim Syiah. Setelah menyisipkan selawat kepada sahabat nabi, dia mengutip riwayat penghancuran kuburan. Dia mengatakan, kalau kita seharusnya menghancurkan makam para nabi, imam, orang saleh, dan ulama.
Khotbah kontroversial tersebut berbuntut panjang. Muslim Syiah maupun ahlusunah Irak mengecam ceramah tersebut. Usut punya usut, khatib bernama ‘Alī Mūsā Al-Mas’ūdī itu ternyata pengikut Mahmoud Al-Sharkhī. Warga kawasan Hamzah Al-Gharbī lantas membakar markas Jemaah Al-Sharkhī dan polisi segera menutup markas lainnya di provinsi tersebut. Tokoh politik Syiah Irak, Muqtada Al-Shadr, mengultimatum Mahmoud Al-Sharkhī. Tiga hari sejak khotbahnya, polisi berhasil menangkap sang khatib.
Siapa Mahmoud Al-Sharkhī?
Pria bernama asli Mahmoud bin ‘Abdur-Ridhā bin Muhammad ini lahir pada tahun 1964 di kota Kazimain, Irak. Pria dengan nama belakang asli Al-Bahādalī ini lulus dari Fakultas Teknik Universitas Baghdad tahun 1987. Pada tahun 1990-an, dia memasang parabola ilegal di rumahnya dan ditangkap oleh polisi Irak. Menariknya, dalam tahanan, dia menulis tentang filsafat. Intelijen Irak kemudian merekrutnya dan memberikan pelatihan soal ideologi agama, serta mengirimnya ke Pakistan.
Setahun kemudian, Mahmoud kembali ke Irak dengan nama Syekh Mahmoud Al-Tamīmī lengkap dengan serban putih. Pada tahun 1994, Mahmoud masuk ke hauzah, sebuah pesantren Syiah. Tidak jelas bagaimana pendidikannya diselesaikan, namun Mahmoud mengaku sebagai murid dari Ayatullah Syahid Mohammad Bāqir Al-Shadr dan Ayatullah ‘Alī Al-Sīstānī. Kini, dia memperkenalkan identitasnya sebagai Sayid Mahmoud Al-Sharkhī dengan serban hitam.
Pada tahun 2003, sebelum Saddam Hussein tumbang, Mahmoud muncul ke publik dan mengklaim sebagai seorang ayatullah al-‘uzhmā dan ulama rujukan (marja’ taklid). Rumor bahwa Mahmoud seorang keturunan Imam Hasan bin ‘Alī (cucu Rasulullah ﷺ) yang dapat berkomunikasi dengan Imam Mahdi tersebar luas. Tak cukup, beberapa kali dia juga mengaku sebagai wakil Imam Mahdi.
Para pendukungnya di selatan Irak berkumpul dan mulai melawan para ulama. Merespon hal itu, Ayatullah Sayid Kāzhim Al-Hā’eri mengatakan, “Sayid Mahmoud Hasanī Al-Sharkhī bukan mujtahid dan kami tidak mempercayainya.”
Agen yang Menyusup
Kelompok Mahmoud Al-Sharkhī diduga terlibat dalam serangan konsultan Iran di Irak pada tahun 2006. Karena kasus inilah, beberapa ulama Syiah menyebut, dia dan kelompoknya menyimpang dan sesat-menyesatkan. Media Al-Alam juga menyebut kelompoknya juga terkait dengan serangan di Zona Hijau Baghdad tahun 2016 dan pembakaran konsulat Iran tahun 2018.
Ketika ISIS menguasai Irak dan berupaya menghancurkan kota Karbala dan Najaf, Mahmoud Al-Sharkhī justru meminta Amerika Serikat dan negara koalisi menghentikan serangan terhadap ISIS. Fatwa Ayatullah ‘Alī Al-Sīstānī yang meminta rakyat Irak melawan ISIS juga dilawan. Menurut Mahmoud, ISIS merupakan bagian dari ahlusunah.
Indikasi dugaan keterlibatan Mahmoud dalam intelijen Arab Saudi juga kuat. Pada tahun 2014, ketika pasukan Mahmoud Al-Sharkhī menyerang Karbala, media Al-Arabiya menyebutnya sebagai antitesis dari ulama Syiah tradisional. Selain itu, ketika Arab Saudi dan negara koalisi menyerang muslim Yaman, Mahmoud menyatakan dukungannya.
Sepak terjang Mahmoud Al-Sharkhī mengingatkan kita tentang dokumen yang diduga milik Badan Intelijen Pusat (CIA) Amerika Serikat. Dalam dokumen tersebut, dijelaskan mengenai upaya intelijen asing untuk mengadu domba umat Islam. Salah satu caranya adalah menyusup ke dalam komunitas Syiah dan menciptakan ulama-ulama palsu. Tujuannya, antara lain, untuk melemahkan posisi otoritas keulamaan dalam mazhab Syiah.
Referensi:
(14 Aban 1398). “Al-Sarkhi: Amel-e hamle…”. Fars News.
(23 Farvardin 1401). “Ma jara-ye fitneh jadeed…”. Fars News.
Forati, Abdolvahab. (24 Dey 1400). “Al-Sarkhi Kist…” Mobahesat.