Putri Rasulullah ﷺ, Sayidah Fātimah, pernah didatangi oleh seorang wanita. Wanita itu berkata, “Ibuku sudah sangat tua. Dia mulai lupa dan bingung tentang aturan dalam salat. Dia mengirimku kepada Anda untuk bertanya tentang hal itu.” Fātimah menjawab pertanyaannya, namun wanita itu bertanya kedua kalinya. Fātimah menjawab lagi, dan wanita itu bertanya untuk ketiga kalinya dan mengulanginya sampai sepuluh kali.
Fātimah tetap menjawab dengan tenang. Wanita itu merasa malu karena mengulangi pertanyaan yang sama. Dia berkata, “Aku bukan bermaksud membebanimu, wahai putri Rasulullah.” Fātimah berkata padanya, “Datang dan tetaplah bertanya kepadaku apapun yang kamu inginkan. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang diupah untuk mengangkat beban berat ke atap rumah, tapi gajinya seratus ribu dinar? Apakah menjadi beban baginya sampai dia berhenti bekerja?”
Wanita itu menjawab tidak. Lalu Fātimah berkata, “Setiap pertanyaan yang engkau ajukan dan kujawab, aku diberi ganjaran berupa mutiara yang lebih banyak dari yang semua ada di antara bumi dan Arasy. Hal itu pastinya tidak menjadi beban bagiku.”
Dari cerita yang ada di dalam kitab Munyat al-Murīd fī Ādāb al-Mufīd al-Mustafīd di atas, kita bisa belajar tentang beberapa hal:
- Kisah di atas hanya salah satu dari sekian banyak riwayat dalam Islam yang menjelaskan pahal bagi orang yang bertanya dan tentunya menjawab pertanyaan orang;
- Setiap pertanyaan yang mampu kita jawab dan meringankan atau memenuhi kebutuhan informasi orang lain, Allah ﷻ memberi kita ganjaran yang luar biasa; meliputi apa yang ada di antara bumi dan langit;
- Wanita yang terus bertanya kepada Sayidah Fātimah akhirnya merasa malu, tapi yang perlu kita perhatikan adalah reaksi Sayidah Fātimah. Coba bayangkan. Kalau ada orang yang bertanya kepada kita sepuluh kali, lalu karena keterbatasan membuat mereka tidak dapat dengan mudah memahami jawaban, sehingga dia meminta klarifikasi lebih lanjut, kayaknya tidak butuh waktu lama bagi kita untuk kehilangan kesabaran. Namun, Fātimah tidak kehilangan kesabaran dan sebaliknya, menunjukkan kebaikan dan empati; dengan tetap membantu wanita itu. Tidak ada kemarahan, namun justru menampakkan kelemahlembutan dan baik hati (ḥilm, halim).
Kenyataannya, seseorang bisa saja tidak dapat menjawab pertanyaan dengan menghindar dari orang lain dengan mengatakan kalau dirinya akan menghubungi mereka, atau meresponnya nanti, atau menyampaikan bahwa dirinya sedang tidak enak badan. Namun respon seperti itu berbeda dari orang yang menggunakan amarahnya.
Ada poin utama yang patut direnungkan murid dan guru; seseorang harus memiliki kebaikan hati dan energi untuk mendengarkan guru atau orang yang lebih berpengetahuan darinya. Mencurahkan seluruh perhatian untuk memperhatikannya. Jika kita tidak mengerti tentang sesuatu, kita harus meminta penjelasan. Kalau kita kebetulan tidak mengerti apa yang mereka katakan, bukan hanya guru tidak boleh marah atau frustrasi, kita pun sebagai murid juga tidak boleh marah dan frustrasi.
Frustrasi menunjukkan seseorang kehilangan kendali atas kesabaran. Ada etika sederhana yang harus diikuti dalam belajar dan mengajar—ilmu (‘ilm) harus disertai dengan halim (ḥilm). Sering kali, murid dan guru kehilangan kesempatan yang diberikan Allah ﷻ untuk belajar dan mengajar, hanya karena kurangnya kebaikanhati.
Referensi:
Ali, Sayyid (7 Januari 2022). “The Perseverance of Fatima”. Iqra Online.