Ketika kemarin membaca artikel ini, saya agak tersindir atau mungkin tertohok telak. Di depan monitor yang tersambung internet, dunia serasa timeless. Sayangnya, dari sekian banyak jam yang terbuang (yang kalau ditotal mungkin sudah bertahun-tahun), kita hampir sulit mencari sisa-sisa kelakukan yang bermanfaat. Melihat orang lain juga melakukan hal yang sama tidak bermanfaatnya, kita pun menjadi jenuh dan bosan. Berikut ini artikelnya dengan judul asli “Terlena di Jejaring Sosial Maya”. Yah… semoga bermanfaat.
Lanjutkan membaca “Sampah dan Korban Internet”
Tag: buruk
Lagi-lagi kemajuan teknologi memainkan peran negatifnya. Sesuatu yang awalnya membuat kita dapat bersosialisasi dengan baik, tiba-tiba saja membuat kita menjadi tidak dapat bersosialisasi dengan baik. Tentu hal ini bergantung pada pribadi si pengguna. Bisa saja seseorang lebih “pintar” bersosialisasi di dunia maya karena dia tidak perlu malu. Tapi di dunia nyata, dia malah menjadi kikuk. Kepribadian ganda, kah?
Mungkin karena hal-hal seperti itu (mungkin lho ya…), teman saya mengetikĀ dalam status Twitter-nya:
Lanjutkan membaca “Jangan Sampai Facebook Putuskan Tali Silaturahmi”
Beberapa hari terakhir, saya sempat terlibat “perang dingin” mengenai keunggulan antara akal dan hati. Saya sempat menulis update status: “Menurut Alquran akal adalah hujah dan menurut akal Alquran adalah hujah”. Perang semakin memuncak ketika saya menulis tentang keyakinan saya bahwa agama ini menjunjung tinggi akal. Tentu bukan sembarang akal, tapi akal yang sudah menjalani alur pikir yang benar.
Di sisi lain, pihak kontra meyakini bahwa hati adalah penentu benar atau salah. Sebenarnya saya juga meyakini hati adalah penentu kebenaran, apalagi jika dikaitkan dengan tema sufistik. Tapi ketidaksetujuan muncul ketika hati (yang memiliki tujuh lapisan ini) disamakan dengan perasaan (emosi). Ini sebabnya, saya kutip potongan artikel berikut yang saya tulis tahun 2006: