Dosa dan Bencana Alam

Setelah geregetan membaca garis waktu di Twitter semalam, suka atau tidak suka, saya harus membahas tema ini yang bagi sebagian orang mungkin disebut sebagai “pendekatan teologis”. Bukan sebagai bentuk pembelaan terhadap eksistensi Tuhan. Terlalu tolol untuk menghubungkan hal itu. Tapi menafikan “kuasa” Tuhan dalam kejadian bencana alam yang belakangan ini terjadi bisa jadi jauh lebih tolol.

Seingat saya, berawal dari status Twitter Menkominfo, Tifatul Sembiring, yang beberapa saat setelah letusan Gunung Merapi menyebut bencana alam ini sebagai azab karena mendustakan ayat-ayat Tuhan. Langsung saja pengguna Twitter kesal dan menyebutnya tidak pantas. Tifatul serta-merta mengatakan, “Ini keyakinan saya, dari Alquran.”
Lanjutkan membaca “Dosa dan Bencana Alam”

Kok Minal Aidin? Kok Impas?

Ternyata hari lebaran ini (20/09) benar-benar digunakan oleh masyarakat untuk silaturahmi dan tentunya mudik. Hal ini secara sederhana terlihat dari jumlah pengunjung blog yang turun drastis sampai siang ini 😀 Makanya saya sempatkan untuk sedikit cerita dan ini (untuk pertama kalinya) saya tulis langsung di new post (karena biasanya pakai Ms. Word dulu).

Pertama tentang si “Minal Aidin” yang menjadi terkenal hanya saat lebaran. Tanpa memperhatikan tulisan aslinya (bahasa Arab, من العائدين والفائزين) banyak dari kita yang salah ketika menuliskannya ke Latin (mudah-mudahan saya nggak ikut-ikutan salah 😛 ). Ada yang “Minal Aidzin wal Faidzin” ada juga yang “Minal Aidhin wal Faidhin”. Latinnya saja salah apalagi buat mereka yang coba-coba nulis bahasa Arabnya.

Kedua, banyak dari kita yang cukup mengucapkan Minal Aidin wal Faizin – Maaf Lahir dan Batin. Seolah-olah kalimat itu terjemahan dan cukup menjadi “basa-basi” ucapan lebaran (apalagi SMS forward). Setahu saya kalau Min al-‘Â`idîn wa al-Fâ`izîn diterjemahkan akan menjadi “bagian dari orang-orang yang kembali (kepada fitrah) dan orang-orang yang menang”. Tapi apanya yang bagian? Apa maksudnya?

Lanjutkan membaca “Kok Minal Aidin? Kok Impas?”

Aku yang (Merasa) Terasingkan

aloneSudah beberapa minggu terakhir, beberapa hari terakhir—termasuk tadi pagi dan saat ini—saya sering melihat dengan pandangan kosong dan menangis. Di dalam kamar, sedang berjalan, bahkan di angkot dan bus. Sejujurnya saya tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Masalah sepele tapi menumpuk; tumpukan dosa yang kupelihara; jenuhnya kehidupan sehari-hari; atau mungkin terasing dan “rindu” akan alam lain.

Setiap hal itu terjadi saya teringat tulisan Ali Syariati tentang Imam Ali. Beliau mengupas Sang Imam dari sisi sosiologi, sisi manusia biasa—dan melepas pandangan kesyiahannya. Ada yang mengatakan orang-orang kaya ketika merasa sampai pada puncaknya, akan merasa terasing, gelisah dan seterusnya. Mereka menderita dan ingin melihat ke dunia lain entah di mana.

Lanjutkan membaca “Aku yang (Merasa) Terasingkan”