Alkisah, seseorang membeli budak. Penjual berkata bahwa budak itu bagus dalam segala hal, kecuali satu: ia suka melakukan namîmah. “Tak apa,” kata pembeli. Setelah beberapa hari tinggal di rumah, budak itu berkata kepada istri tuannya, “Suamimu itu sudah tidak mencintaimu lagi. Ia bermaksud mengambil the other woman. Supaya ia mencintaimu lagi, ambillah beberapa helai rambutnya dengan pisau cukur, ketika ia tidur.” Kepada suaminya, budak itu berkata, “Istrimu sudah punya the other man. Ia bermaksud membunuhmu. Jika ingin membuktikan omonganku ini, pura-puralah tidur.” Maka, malam itu, sang suami pura-pura tidur. Ia melihat istrinya datang dengan pisau cukur. Ia yakin istrinya mau membunuhnya, maka ia segera bangun dan membunuh istrinya lebih dahulu. Keluarga istrinya tentu saja marah. Terjadilah peperangan antara keluarga kedua belah pihak.
Dengan cerita itu, Al-Ghazali mengakhiri bab tentang namîmah dalam Ihyâ ‘Ulûm Ad-Dîn. Suatu akhlak tercela, namîmah, cukup untuk mendatangkan bencana, walaupun seseorang mempunyai kelebihan dalam akhlak yang lain. Inilah nila setitik yang merusak susu sebelanga. Nabi SAW bersabda, “Orang yang paling dibenci Tuhan ialah orang yang berjalan ke sana kemari menyebarkan namîmah, yang memecah di antara orang-orang yang bersaudara (saling mencintai), yang mencari-cari kesalahan dari orang yang tak bersalah.” (Ath-Thabrani, Ahmad). Ia juga bersabda, “Tak akan pernah masuk surga pelaku namîmah.”
Lanjutkan membaca “Namîmah” →