Beberapa hari terakhir, saya sempat terlibat “perang dingin” mengenai keunggulan antara akal dan hati. Saya sempat menulis update status: “Menurut Alquran akal adalah hujah dan menurut akal Alquran adalah hujah”. Perang semakin memuncak ketika saya menulis tentang keyakinan saya bahwa agama ini menjunjung tinggi akal. Tentu bukan sembarang akal, tapi akal yang sudah menjalani alur pikir yang benar.
Di sisi lain, pihak kontra meyakini bahwa hati adalah penentu benar atau salah. Sebenarnya saya juga meyakini hati adalah penentu kebenaran, apalagi jika dikaitkan dengan tema sufistik. Tapi ketidaksetujuan muncul ketika hati (yang memiliki tujuh lapisan ini) disamakan dengan perasaan (emosi). Ini sebabnya, saya kutip potongan artikel berikut yang saya tulis tahun 2006: