Iran meluncurkan ratusan rudal dan drone ke langit Israel pertengahan April 2024. Banyak yang senang karena akhirnya ada negara yang berani menyerang Israel. Tapi tidak sedikit yang kecewa bahkan mencurigai kalau serangan itu hanya sandiwara belaka.

Iran memang negara mayoritas muslim kedua yang mengakui Israel. Pengakuan itu dilakukan dua tahun setelah rezim Zionis lahir, ketika Iran masih dikuasai Mohammad Reza Pahlavi. Raja atau syah Iran itu sudah mantap mengakui Israel menyusul Turki yang sudah lebih dulu memberikan pengakuan.

Meski sudah banyak kerja sama dengan Israel terutama di bidang ekonomi dan minyak, Mohammad Reza Pahlavi belum mau terlalu terbuka. Dia khawatir pengaruh Yahudi menjadi terlalu kuat seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Di sisi lain, dia juga masih mau menjaga hubungan dengan negara Arab yang masih sensitif soal Israel.

Belum lagi keruwetan yang dihadapi Mohammad Reza Pahlavi akibat penolakan rakyat Iran terhadap hubungan dengan Israel. Sejak awal kelahiran rencana kelahiran Israel, Ayatullah Abol-Ghasem Kashani pada 1948 menegaskan:

Pembentukan rezim Zionis di masa depan akan menjadi sentral kerusakan umat Islam di Timur Tengah dan seluruh dunia.

Kantor Ayatullah Kashani lantas membuka pendaftaran bagi masyarakat yang mau berangkat perang ke Israel. Geram dengan aksi itu, Mohammad Reza Pahlavi membuang Ayatullah Kashani ke Lebanon. Girah yang sama untuk memerangi Israel dilanjutkan oleh Ayatullah Boroujerdi dan Syahid Navvab Safavi.

Penolakan terhadap Israel bukan cuma muncul dari ulama dan muslim Iran. Kelompok non-muslim dan pendukung marxisme di Iran juga turut menentang. Sebab kerja sama dengan Zionis menciptakan kerugian besar bagi ekonomi.

Upaya Perdana Menteri Iran, Mohammad Mosaddegh, untuk menasionalisasi minyak berakibat pada kudeta oleh intelijen Amerika Serikat. Syah Pahlavi sebagai antek Amerika Serikat pun mengambil alih mutlak seluruh kebijakan.

Karenanya, penolakan rakyat Iran terhadap Israel bukan baru dimulai sejak revolusi Islam Iran tahun 1979. Kekejaman Israel terhadap ekonomi dan rakyat Iran sudah dilakukan sebelum revolusi. Rakyat Iran tidak mau berkompromi dengan Israel, terlepas dari terbentuknya Republik Islam atau tidak.

Namun ketika Ayatullah Khomeini berhasil menyalurkan keinginan rakyat Iran dalam membentuk Republik Islam, sikap terhadap Israel menjadi lebih tegas. Hubungan diplomatik dengan Israel diputus; Kedutaan Israel di Tehran diubah menjadi Kedutaan Palestina; dan hari Jumat terakhir di bulan Ramadan diperingati sebagai Hari Al-Quds.

Sebenarnya daftar dukungan Iran untuk Palestina masih panjang. Hal itu karena Ayatullah Khomeini tidak ingin masalah Palestina dijadikan kepentingan sesaat para nasionalis Arab. Seharusnya, pembebasan Palestina merupakan isu yang berlandaskan Islam.

Namun kini dunia menghadapi standar ganda yang akut. Langkah Israel yang menyerang kedaulatan negara lain, tidak mendapatkan kecaman dan sanksi. Sementara reaksi Iran untuk melakukan balasan, dianggap mengganggu stabilitas kawasan dan berpotensi dikenai sanksi?

Negara mayoritas muslim dan Arab yang bekerja sama dengan Amerika Serikat dan Israel bahkan ikut menghalau roket Iran, dianggap sebagai strategi politik untuk melindungi agama dan tanah suci. Sedangkan Iran yang bertahun-tahun membantu Palestina serta melawan Israel dan Amerika Serikat, dianggap sandiwara dengan kepentingan terselubung?

Komentar Anda?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.