Tidak Ucapkan Amin Setelah Alfatihah Bukan Karena Politik

Kontestasi politik terkadang bisa mengubah seseorang menjadi fanatik. “Sekarang di beberapa kantor, (setelah) ghairil-maghdūbi ‘alaihim waladh-dhāllīn (orang) sudah takut bilang amin,” kata Ustaz Abdul Somad. Di samping ustaz, ada calon presiden yang didukungnya, Anies Baswedan. Bersama Muhaimin Iskandar, mereka berdua memakai singkatan AMIN.

Sebagai calon presiden nomor urut satu, Anies menimpali, “Masa tasyahud tangannya keluar dua (jari), tasyahud satu lah.” Kelakar itu menular dan justru direpetisi oleh Zulkifli Hasan dengan maksud yang berbeda. 

Sebelum dipakai saat kampanye, amin lazim diucapkan setelah berdoa. Āmīn bermakna kabulkanlah, perkenankanlah, atau terimalah (doa kami). Kata itu biasa diucapkan para penganut agama samawi. Bukan singkatan yang ketemunya dari langit, amin sebetulnya berasal dari bahasa Ibrani. Empat abad sebelum masehi, amin sudah digunakan dalam ibadah dan ritual Yahudi. Sampai kemudian tradisi tersebut merangsek ke dalam gereja Kristiani.

Dalam Islam, para ulama suni maupun Syiah juga meyakini kalau mengucapkan amin setelah berdoa itu dianjurkan. Ada sebuah hadis yang disepakati ahlusunah maupun Syiah.

Suatu hari di bulan Ramadan, Rasulullah ﷺ hendak naik mimbar. Ketika menaiki tiga anak tangga, beliau mengucapkan amin. Para sahabat lantas bertanya-tanya. Rasulullah menceritakan kalau beliau mengamini tiga perkataan Jibril, “Allah menjauhi orang yang menyebut namamu, namun tidak berselawat kepadamu. Allah menjauhi orang yang memasuki bulan Ramadan, namun tidak memperoleh ampunan. Allah menjauhi orang yang kedua orang tua atau salah satunya masih hidup, namun dosanya tidak diampuni.”

Anjuran mengucapkan amin juga diyakini sunah oleh ahlusunah setelah pembacaan Alfatihah terutama ketika salat. Ada hadis yang memperkuat hal tersebut. “Jika selesai membaca Alfatihah, Nabi ﷺ mengucapkan amin dengan mengeraskan suara dan memanjangkannya.”

Tapi dalam penerapannya, ulama suni memiliki perbedaan pendapat. Hanafi berpendapat imam mengucapkan amin dengan keras, sedangkan makmum dengan pelan atau lembut. Maliki ada dua pendapat; sama seperti Hanafi dan ada pula yang tidak mengucapkan. Syafii dan Hambali berpendapat imam dan makmum mengucapkan amin dengan keras. 

Meski meyakini ucapan amin setelah berdoa itu dianjurkan, ulama Syiah beda pendapat soal pengucapannya dalam salat setelah Alfatihah. Bahkan ada yang berpendapat, pengucapannya dapat membatalkan salat. Apa alasannya?

Pertama, ahlusunah dan Syiah sama-sama meyakini kalau ibadah merupakan perkara tauqifiah. Ritual yang sudah ada nas; tidak boleh ditambah atau dikurangi. Dalam kitab hadis, ada riwayat Abū Hāmid As-Sa’idī di hadapan sepuluh sahabat nabi yang mendeskripsikan tata cara salat Nabi ﷺ. Tidak ada kata “amin” dan para sahabat membenarkannya.

Kedua, sebagian besar hadis tentang ucapan amin dalam salat diriwayatkan Abu Hurairah. Sudah bukan rahasia lagi kalau Syiah tidak menerima hadis Abu Hurairah. Kita akan bahas dalam artikel terpisah. Sebenarnya bukan hanya Syiah, pengkritik Abu Hurairah juga berasal dari kalangan sahabat dan beberapa ulama ahlusunah. Periwayat lain yang muncul dalam sanad seperti Hamid bin ‘Abdurrahman, ‘Abdul-Jabar bin Wa’il, dan Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila juga dinilai lemah.

Ketiga, jika Rasulullah ﷺ memerintahkan, ahlulbait pasti mengikutinya. Namun dalam khazanah ahlulbait tidak ada yang menganjurkan ucapan amin setelah Alfatihah. Bahkan ada riwayat yang melarangnya, namun menganjurkan ucapan hamdalah. Imam Ja’far bin Muhammad mengatakan, “Ketika Anda salat berjemaah dan imam sampai pada akhir surah Alfatihah, ucapkan alhamdulillāh rabbil-’ālamīn dan jangan katakan amin.”

Komentar Anda?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.