Tidak pernah terbayang sebelumnya oleh Israel. Salah satu pria yang dibebaskan dari penjara untuk ditukar dengan seorang tentara Israel pada tahun 2011, ternyata menjadi perancang operasi Badai Al-Aqsa. Sebuah serangan yang menciptakan kerusakan militer terbesar rezim Zionis.

Musuh menjuluki pria berambut putih itu sebagai “tukang jagal dari Gaza”. Benjamin Netanyahu menyebutnya dead man walking karena menjadi target pembunuhan nomor satu. Sementara para pendukung menggelarinya sebagai “komandan misterius” dan “dalangnya Hamas”.

Embed from Getty Images

Yahya Ibrahim Hasan Al-Sinwar lahir pada 29 Oktober 1962 di kamp pengungsi Khan Yunis. Sejak kecil, Yahya tumbuh di tengah pengungsi yang membawa kesedihan dari kampung halaman. Salah seorang tetangga Yahya adalah Mohammad Deif, yang kemudian tinggal bersamanya di penjara Israel. Kini Mohammad menjadi komandan Al-Qassam dan masuk incaran utama Zionis.

Selama di kamp, Yahya menyaksikan perjuangan; mendengar lagu perjuangan; melihat pemakaman para syahid; memandang gambar perlawanan di dinding kota. Tragedi yang menimpa Palestina tertanam dalam hati dan pikirannya. Bagi Yahya, satu-satunya cara untuk membebaskan tanah air adalah dengan mengangkat senjata.

Sebagai mahasiswa Studi Arab di Universitas Islam Gaza, Yahya aktif dalam kegiatan perlawanan. Sudah tak terhitung berapa kali Yahya harus keluar-masuk penjara Israel. Sampai akhirnya, pada tahun 1985, Yahya mendirikan agensi keamanan yang disingkat Majd. Tugasnya adalah menemukan mata-mata dan orang-orang yang bekerja sama dengan Zionis.

Pada masa Intifadah Pertama tahun 1987, Syekh Ahmad Yassin mendirikan organisasi perlawanan Israel untuk pembebasan Palestina: Hamas. Bagi Yahya, batu, ketapel, demonstrasi itu memang penting, tapi tidak akan cukup melawan kebengisan Israel. Karenanya, Yahya berencana membentuk satuan militer baru.

Belum sempat terwujud, Israel menangkap Yahya pada 20 Januari 1988. Dia dijatuhi hukuman seumur hidup.

Embed from Getty Images

Ternyata kesalahan pertama Israel bukan saat membebaskannya, tapi saat menangkapnya. Karena dalam penjara, hubungan Yahya dan Syekh Yassin malah semakin kuat. Syekh Yassin menilai Yahya sebagai orang yang tepat untuk memimpin Hamas di masa depan.

Micha Kobi, anggota intelijen Shin Bet yang menginterogasi Yahya pada 1989, menggambarkan Yahya sebagai orang yang piawai memimpin karena karismanya. Pendiam dan hampir tidak pernah tersenyum. Namun dia tekun, cerdas, dan mampu mengumpulkan kekuatan.

Dalam penjara, Yahya mempelajari bahasa Ibrani. Tentara dan intelijen Zionis yang mampu berbahasa Arab diajak berbicara bahasa Ibrani. Buku dan gagasan pemimpin zionisme seperti Jabotinsky, Menachem Begin, dan Yitzhak Rabin, dipelajari oleh Yahya. Analis Israel menyebut, kefasihannya dalam bahasa Ibrani membuat Yahya lebih mudah memahami taktik Israel.

Setahun setelah dibebaskan bersama 1.026 tawanan lainnya, Yahya Sinwar mengunjungi Iran pada 2012. Di Tehran, dia bertemu dengan Qasem Soleimani, komandan Pasukan Quds dari Korps Garda Revolusi Iran. Sejak saat itu, Yahya memandang Qasem sebagai pria yang mencintai Palestina dan Al-Quds dengan tulus. Sedangkan Iran adalah negara yang selalu siap mendukung kekuatan kelompok perlawanan.

Pria dengan lakab Abu Ibrahim ini telah menghabiskan 23 tahun hidupnya di penjara Israel. Michael Milstein, mantan pejabat intelijen Pasukan Pertahanan Israel (IDF), mengatakan, “Kesalahan menilai karakter Yahya adalah awal dari kegagalan intelijen terbesar Israel.”

Komentar yuk!

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.