Mari kita mengulangi kembali salah satu subbab pelajaran dasar logika: generalisasi. Kita mendengar bahkan bisa jadi ikut melarang orang untuk tidak melakukan generalisasi. Sebagai salah satu proses penalaran induksi (khusus-umum), generalisasi merupakan penyimpulan yang berawal dari sejumlah fenomena individual menuju kesimpulan umum. Fenomena yang dialami kita setarakan dengan seluruh fenomena sejenis. Jadi, kesimpulan dari satu peristiwa yang terjadi kita berlakukan juga kepada peristiwa lain yang belum terjadi. Karena itulah, proses seperti ini sebenarnya tidak sampai pada kebenaran absolut, tetapi hanya sebuah kemungkinan.
Ketika berbicara mengenai generalisasi, maka yang dimaksud adalah generalisasi tidak sempurna, yaitu generalisasi yang didasarkan beberapa fenomena untuk menyimpulkan fenomena sejenis yang belum diselidiki. Untuk menguji apakah sebuah generalisasi yang dihasilkan cukup kuat, kita harus mengevaluasi bukti-bukti yang ada, di antaranya:
- Meski tidak ada ukuran yang pasti, tapi apakah benar jumlah sampel yang dimiliki cukup untuk membuktikan kebenaran? Karena untuk menentukan faktor dominan, apalagi sebuah keyakinan, tidak cukup didasarkan kepada beberapa orang saja.
- Meski tidak menjamin kebenaran absolut, apakah sampel yang digunakan cukup bervariasi? Sampel yang semakin bervariasi akan semakin memperkuat kemungkinan kebenarannya; misalkan variasi pengaruh kehidupan dan lingkungan, latar belakang pendidikan, kultur, usia, negara, dan sebagainya.
Selain dua hal di atas, ada beberapa hal lain yang patut diperhatikan seperti pengecualian dan konsistensi dalam menyimpulkan generalisasi.[1] Jika kita tidak memperhatikan banyak faktor maka dapat menghasilkan generalisasi yang salah. Misalkan, pelaku pemboman itu orang Arab, berjanggut, beragama Islam, lantas kita simpulkan bahwa (semua) orang Arab, berjanggut, Islam adalah teroris. Atau tersangka korupsi bermazhab suni, lantas kita simpulkan bahwa orang bermazhab suni koruptor.
Generalisasi yang salah ini tidak hanya terjadi pada Islam secara umum tapi juga Syiah. Satu, dua, tiga orang Syiah yang melakukan caci maki terhadap sahabat tidak bisa kita generalisasi bahwa mencaci maki sahabat adalah ajaran apalagi akidah Syiah. Satu, dua pendapat ulama Syiah tidak bisa dijadikan ukuran bahwa itu adalah ajaran Syiah, karena sebuah fatwa bukanlah ijmak. Satu, dua hadis lemah yang ada di dalam kitab Syiah tidak bisa dijadikan sandaran atas keyakinan Syiah.
Anjuran untuk tidak melakukan generalisasi terhadap Syiah sudah pernah dilontarkan oleh kristolog masyhur Ahmad Deedat. Beliau mengatakan, jika kita melihat satu orang suni melakukan kesalahan, kita hanya mengatakan bahwa orang itu tidak islami. Tapi jika satu orang Syiah melakukan kesalahan, kita malah menyalahkan seluruh komunitas Syiah yang jumlahnya jutaan.[2]
Pesan yang sama juga pernah disampaikan Habib Rizieq Shihab. Dia mengatakan bahwa kita tidak boleh menggeneralisasi semua Syiah itu kafir dan sesat, karena mereka bermacam-macam. Begitu pula, dia mengatakan agar orang Syiah awam tidak melakukan caci-maki terhadap sahabat, sebab orang suni yang tidak paham akan menggeneralisasi bahwa Syiah memang seperti itu. Katanya, “Orang awam mudah menggeneralisasi.”[3]
Kebanyakan generalisasi yang muncul adalah generalisasi empiris, yakni generalisasi yang tidak disertai penjelasan. Diperparah lagi dengan orang yang menerimanya tidak berusaha mencari penjelasan mengapanya. Generalisasi mengenai Syiah sebagai kelompok sesat yang berakidahkan caci maki terhadap sahabat akan terus berjalan bertahun dan berabad lamanya. Tanpa ada penjelasan dan mencari penjelasan, sehingga menghasilkan stereotip.
Stereotip adalah konsepsi yang ada di benak mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Stereotip ini membuat seseorang malas berpikir, mempertanyakan, atau menganalisa. Anda melihat seseorang memakai kemeja putih-celana hitam-membawa map, maka kita simpulkan (melalui stereotip) bahwa dia sedang mencari kerja. Melihat orang memakai jubah dan peci maka disimpulkan bahwa dia bagian dari kelompok garis keras. Jika berkaitan dengan Syiah, tanpa perlu pikir panjang maka segera muncul konsepsi dalam benak orang-orang sebagai kelompok “sesat! kafir!”
Sampai di situ orang akan enggan untuk mencari tahu apakah konsepsinya benar atau tidak. Dia sudah merasa puas dengan apa yang pernah diterimanya dari seseorang yang—melalui stereotip—terlihat seperti pakar agama. Sebagai contoh, seorang syekh salafi mengatakan bahwa lebih baik merokok dan minum khamar daripada berdebat dengan orang Syiah.[4] Semua itu muncul karena stereotip bahwa Syiah kafir, sesat, dan pembicaraannya adalah kebohongan. Padahal untuk membuktikannya diperlukan dialog, bukan menutup mata.
mestinya analogi,bukan mengedepankan generalisasi.
salam sukses
sepertinya terjadi generalisasi pandangan salafi dan wahabi terhadap syiah 🙂
… dan juga generalisasi pandangan Syiah terhadap Wahabi…?
orang boleh boleh aja berpendapat.asalkan melalui penelitian yang seksama.dari para ahlinya.bukan berdasarkan selera atau prasangka tapi menuntut kita untuk menjadikan kebenaran sebagai dasar pijakan menuju ridho allah dan bersatunya umat islam…………