Sebelum dikhususkan jadi tempat ibadah, tanah tempat masjid dibangun tidak berbeda dengan sebidang tanah lainnya. Tanah itu sama sampai kemudian kita kaitkan kepada Allah dan para hamba-Nya. Di sanalah terbangun koneksi antara Allah dengan manusia. Kitalah yang memberikan kesucian pada tanah itu dengan perbuatan kita. Sejak saat itu, tidak ada lagi yang bisa membawa kotoran atau najis ke dalamnya.
Tanah yang menghubungkan manusia dengan Allah ﷻ berubah menjadi suci dan bernilai. Nabi Ibrāhīm a.s. membangun Ka’bah agar orang-orang beribadah kepada-Nya. Setelah dibangun, barulah tanah itu diberkati dan mulia sebagaimana firman dalam surah Āli ‘Imrān ayat 96:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ
Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia ialah (Baitullah) yang di Bakkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.
Pemahaman yang sama juga berlaku untuk rentang waktu tertentu. Malam ini tidak berbeda dengan besok malam atau kemarin malam. Semuanya sama-sama periode waktu yang gelap, tidak ada sinar matahari, dan dihiasi bintang-bintang. Tapi kalau kita mampu mendedikasikan periode waktu itu untuk menghubungkan jiwa kita dengan Allah, waktu itu menjadi sakral, dihormati, dan menjadi malam yang berhaga—lailatulqadar.
Jika tidak ada manusia, tidak ada malam qadar yang penuh nilai, karena tidak ada yang memberikan nilai apapun padanya. Karena alasan inilah, beberapa ulama mengusulkan makna lain dari kata qadar pada kata lailatulqadar. Alih-alih ketetapan atau takdir, sebagian berpendapat qadar dalam kata tersebut bermakna nilai. Lailatulqadar memiliki kadar (nilai) disebabkan oleh dua alasan utama.
Pertama, itulah masa ketika Allah ﷻ menurunkan Al-Qur’an. Ia diturunkan kepada manusia, rasul terakhir, dan menjadi mata rantai komunikasi Ilahi yang mengikat Nabi dengan Allah ﷻ. Nabi ﷺ menjadi penerima wahyu yang meneruskannya kepada seluruh umat manusia. Jika tidak ada manusia yang memiliki kapasitas untuk menerima wahyu da, tidak ada pula hubungan ataupun koneksi antara Allah dan manusia, sehingga malam itu tidak memiliki kadar.
Kedua, apa hubungan kita dengan Lailatulqadar dan kapan malam ini memiliki nilai bagi kita? Malam tersebut memiliki nilai ketika kita memutuskan untuk memberikannya nilai. Sama seperti sebidang tanah yang menjadi suci setelah dibangun sebuah masjid. Kita memutuskan untuk menjadikan tanah itu sebagai sarana untuk menghubungkan manusia dengan Allah ﷻ.
Dalam konteks Lailatulqadar, setiap orang bisa memberikan nilai, dengan syarat mereka menyadari nilai diri mereka dan orang lain. Seberapa besar kita menghargai diri sendiri, sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat? Kalau kita tersesat dalam hidup, lupa akan identitas kita, dan tidak mengenali nilai kita sendiri, bagaimana mungkin kita bisa memberikan nilai pada malam itu atau berkomunikasi dengan Allah?
Kalau kita menyia-nyiakan waktu, kapasitas, dan potensi yang diberikan, hal itu menjadi indikasi kalau kita tidak menghargai diri sendiri. Jika demikian, Lailatulqadar akan datang silih berganti seperti malam-malam lainnya dan kita tidak meraih apapun.
Saat Lailatulqadar, kita melihat kaum muslim berupaya mempertahankan keistimewaan malam itu dengan penuh semangat. Mereka berusaha ikut ambil bagian dengan sejumlah amalan. Tapi kita harus bertanya: nilai yang kita berikan pada malam itu melalui pertunjukan amal ritual, apakah kita telah memberikan nilai, kesucian, dan kehormatan yang sama kepada diri sendiri dan orang lain?
Kalau kita menghabiskan waktu semalam suntuk, padahal setahun sebelumnya kita merendahkan diri atau bahkan memperlakukan orang lain dengan buruk, maka itu sebuah kontradiksi. Ibarat, kita memasuki masjid dalam keadaan penuh najis tapi mengharapkan manfaat dari kesucian tanah masjid. Lailatulqadar akan menjadi malam penuh nilai ketika manusia dapat mengenali nilai dirinya sendiri.
Artikel ini merupakan ringkasan dari tulisan Sayid Ali Imran, seorang pengajar di Mizãn Institute dan pendiri IqraOnline.