Islamic Cultural Center di wilayah California Utara tidak seperti masjid pada umumnya. Menara dan bangunan megah yang dulu digunakan sebagai kuil pengikut Mason, kini menjadi masjid sekaligus pusat kebudayaan islami yang memberikan contoh keharmonisan antara suni dan Syiah, dua mazhab Islam yang berselisih selama berabad- abad.
Sejak beralih fungsi, pengurus masjid telah memberikan sentuhan yang tetap mewarisi nilai sejarah. Jendela warna-warni pada bagian atas bangunan dibiarkan apa adanya. Begitu juga dengan kursi panjang dan organ pipa (orgel). Pengurus masjid hanya mengubah beberapa dekorasi. Kaca berwarna pada jendela kini bertuliskan lafaz Allah dalam Bahasa Arab dan kutipan doa berbahasa Persia. Karena dibangun oleh imigran asal Iran, karpet dan kesenian Persia juga melapisi lantai kayu dan menghiasi dinding.
Tak hanya itu, aroma yang dihadirkan juga berbeda. Bekas ruang makan malam para mason kini menyajikan nasi safron dan daging kebab. “Bagi muslim, berkumpul dan makan bersama merupakan momen penting yang harus dilakukan,” kata Azita Sayyah, sang manajer.
Pusat kebudayaan islami juga mengadakan pertunjukan, diskusi malam, serta kelas melukis dan kesenian keramik. Ekspresi seni, kata pemimpin masjid Ali Sheikhulislami, menjadi penting di tempat tersebut: seni dapat mengisi kesenjangan dalam diskusi tentang Islam. “Satu hal yang hilang saat ini adalah keindahan—perhatikanlah keindahan Islam dan sejarahnya yang kaya,” katanya.
Itulah alasan mengapa ICCNC tidak seperti masjid pada umumnya. Banyak masjid yang mendakwahkan haramnya mendengarkan musik, apalagi memainkan alatnya. Tapi di tempat ini, di sebuah auditorium besar yang dipenuhi puluhan orang, penyanyi Maroko asyik menyanyikan pujian tentang Nabi Muhammad, sambil memainkan alat musik yang disebut oud. Di sampingnya, seorang musisi lain memainkan gendang asal Afrika Utara yang disebut dengan dumbek.
Mereka yang datang ke masjid berasal dari berbagai latar belakang: kulit putih, kulit hitam, Asia—ada yang memakai jubah sufi warna hijau, ada pula pengikut Syiah yang mengenakan serban hitam, atau jubah putih panjang yang biasa dipakai orang Arab, dan ada pula wanita yang tidak mengenakan jilbab, bahkan seorang rabi Yahudi juga turut menjadi tamu. Tanyakan pada yang pernah datang, maka mereka akan menceritakan momen yang jarang terjadi—momen yang membuat mereka semua merasa nyaman.
“Pengalaman yang unik,” kata seorang pengjung, Ali Saadeghi. “Tidak akan kita temukan momen ini di tempat muslim lain pada umumnya. Sangat menyenangkan. Tempat yang bagus untuk anak dan istri saya.”
Meskipun didirikan oleh warga Iran, tapi semua orang yang datang akan disambut. Tempat tersebut, kata Ahmed Sheikhulislami, salah seorang pendiri. bagaikan gereja multidenominasi di mana Presbiterian, Baptis dan Lutheran mengadakan kebaktian bersama. Dalam konteks Islam, inilah tempat untuk menemukan kesamaan antara pengikut Syiah dan suni—dua kelompok yang sering menjadi topik utama dalam kekerasan di Irak atau Yaman saat ini.
Yaseen Ali Jones, seorang sufi suni, rela melakukan perjalanan sejauh 138 km dari Sacramento menuju masjid. Dia mengatakan bahwa itulah tempat pertama di mana dia dapat berinteraksi dengan pengikut Syiah dan suni dalam satu tempat. “Saya mendengar reaksi yang sama dari orang-orang terhadap paham dan pelaku ekstrimisme. Mereka memiliki keyakinan kuat untuk melawan ekstrimisme,” kata Jones.
Sementara Salman Mashayekh, insinyur dari Santa Clara, membayangkan apa yang akan Nabi Muhammad katakan tentang perselisihan antara ahlusunah-Syiah saat ini. “Bagi saya semua itu omong kosong, pengikut Syiah dan suni saling berkelahi dan membunuh satu sama lain. Pastilah nabi tidak menginginkan hal itu,” katanya. “Kita harus bekerja sama, duduk dan saling mendengarkan. Cukup yakini kepercayaan masing-masing dan jangan lagi ada permusuhan.”
Toleransi memang bermakna saling dialog di antara kelompok. Tapi bagaimana dengan pengikut Syiah dan suni yang berada dalam satu keluarga? Imrul Mazid, 35, seorang guru asal Oakland, menjadi pengikut Syiah pada usia 20-an. Hingga kini dia masih memiliki hubungan yang baik dengan orang tuanya yang suni. Tapi memang tidak semua obrolan menjadi nyaman. Ketidaksepakatan utama antara kedua kelompok ini adalah: siapakah yang berhak melanjutkan Nabi Muhammad.
“Saya sebagai pengikut Syiah dan kedua orang tua adalah suni. Tapi kami semua muslim,” kata Mazid. “Kami saling menghormati dan menyayangi satu sama lain. Jika didasari oleh cinta, maka kecintaan pada nabi dan keluarganya adalah segalanya.”
Mazid mengenal Syiah dari salah seorang temannya. Sejak itu dia mengetahui perbedaan teologi dan sejarah di antara dirinya dan keluarganya. Pertanyaan paling mendasar adalah siapakah yang berhak melanjutkan kepemimpinan setelah wafatnya nabi. Tapi ketika berbicara dengan orang tua atau muslim suni lainnya, Mazid cenderung menghindari topik perdebatan tersebut. Dia merasa kesal dengan orang yang mencari-cari hal kecil untuk dipermasalahkan, seperti gerakan salat. “Persatuan adalah hal utama. Jadi tidak penting untuk mengatakan ‘kamu salat seperti itu?’ dan mengatur gerakan salat orang lain,” katanya.
“Di antara teman atau keluarga yang suni, saya tidak akan terlalu terbuka tentang kesyiahan. Ada sejarah panjang penganiayaan terhadap Syiah, dan Anda harus pintar-pintar!” katanya tertawa.
Itulah sebabnya Mazid menyukai pusat kebudayaan Islam tersebut. Isu-isu semacam itu tidak menjadi masalah di di sana. Ali Sheikhulislami, imam masjid, mengatakan tujuan tempat tersebut adalah untuk meruntuhkan dinding pemisah di antara kedua mazhab. Letaknya yang jauh dari Timur Tengah justru memberikan ruang untuk hal tersebut.
Mazid adalah bagian dari semakin banyaknya keluarga suni-Syiah di Amerika Serikat. “Kami berbicara kepada seorang teman, dan katanya, ‘Ibu saya suni dan ayah saya Syiah, jadi… kami menyebut diri kami susyi!” kata Ahmed Sheikhulislami menirukan kisah seorang pengunjung. “Kami menyukainya. Kita ini satu; hal semacam itu seharusnya tidak membuat kita berpecah. Kita semua manusia. Kami semua susyi.”
Sumber:
“With Song And Celebration, Mosque Chips Away At Sunni-Shiite Divide”. National Public Radio. Diakses pada 6 November 2015.
“Celebrating the commonalities at Oakland’s ‘sushi’ mosque”. KALW Local Public Radio. Diakses pada 7 November 2015.