Cobalah membaca kisah yang menimpa ahlulbait. Atau mendengar cerita pembunuhan yang terjadi di Karbala. Dalam pikiran, kita akan membayangkan tragedi yang terjadi saat itu. Lalu tak terasa, air mata menetes. Bayangan dan imajinasi itu juga muncul dalam benak Hassan Roholamin. Dengan penuh perasaan, dia menuangkan narasi dan peristiwa ke dalam kanvas. Akhirnya, momen yang dialami ahlulbait dan keturunannya terekam dalam bingkai.
Hassan lahir pada 5 Oktober 1985 di Tehran. Meski ayahnya seorang tukang kayu, Hassan gemar menggambar. “Di setiap keluarga, seorang ibu pasti membanggakan anaknya. Misal betapa cantik dan tampan atau nilai pelajarannya yang sangat bagus. Saya tidak tampan atau punya nilai baik. Satu-satunya yang orang tua katakan tentang saya adalah gambarnya bagus,” ungkapnya. Hassan memberanikan diri: mendaftar sekolah seni rupa. Karena baginya, seni paling dasar yang dipelajari seorang anak adalah menggambar.
Kewajiban setiap muslim
Dari sekian banyak karya yang dihasilkan, citra yang melekat pada Hassan adalah lukisan religi khususnya Asyura. Tanpa kita sadari, lukisan spektakuler Hassan tentang Karbala kerap kita lihat di berbagai media sosial. Tahun ini, Jalan Valiasr kembali dihiasi karya Hassan bertajuk Aman Nameh. Menceritakan Imam Husain yang membuang surat penduduk Kufah di hadapan ‘Umar bin Sa’ad seraya mengatakan innī uḥāmī abadān ‘an dīnī.
Bagi Hassan, manusia bisa mengekspresikan mimpinya melalui bahasa lukisan. “Saya bukan pelukis yang dipaksa masuk ke ruang Asyura. Saya sudah berkarya di ruang yang berbeda. Saya sudah berkali-kali mencoba hal lain. Faktanya, saya tidak tertarik dengan karya selain Asyura.” Bagi Hassan, ada kepuasan khusus saat melukis Asyura. “Saya merasa tidak menyia-nyiakan jalan hidup ini. Tentu, saya tidak bermaksud merendahkan orang lain yang berkarya di ruang berbeda.”
Saya seorang Syiah yang melakukan tugasnya. Saya tidak menghasilkan seni untuk Imam Husain. Jika karya itu menarik, hal itu bukan karena saya tapi karena temanya.
Hassan Roholamin
Hassan memiliki tangan yang halus. Tapi pada saat yang sama juga kuat dalam menggambarkan tema kesyahidan. Memanfaatkan keagungan gaya lukis barok, Hassan menggambarkan dengan megah peristiwa religius yang akrab dengan umat Islam. Penikmat karya lukis Hassan kagum dan kerap membandingkannya dengan maestro lukis Iran lainnya, Mahmoud Farshchian.
“Perbandingan itu tidak adil dan tidak benar sama sekali. Farshchian sudah menjadi bagian dari Imam Husain sejak kecil. Sementara saya pendatang baru di jalur ini. Ketika saya diperlakukan seperti orang spesial, jujur hal itu menganggu saya,” ungkapnya.
Sambil mendengar eulogi
Menariknya, Hassan sama sekali tidak merasa sebagai seorang seniman. Dirinya hanya ingin memvisualisasikan konsep dan narasi yang ada dalam pikirannya. “Kami (para seniman) hanya ingin menyampaikan apa yang terjadi pada hari Asyura. Dengan lukisan, ekspresi dari tragedi Asyura bisa terlihat lebih menyeluruh karena memiliki bahasa yang luas,” katanya.
Bagaimana Hassan mampu menggambarkan keberanian musuh dalam membunuh keluarga nabi? “Saya mendengarkan narasi tragedi pembunuhan (rowzeh) saat melukis. Tapi menurut Prof. Hossein Alizadeh, tangisan batin memiliki tingkat dan dampak yang lebih besar. Saya tentu mengalami perasaan khusus saat melukis. Hal itu sangat pribadi. Saya tidak ingin ada orang yang bertanya atau saya menjelaskannya.”
Selain itu, Hassan juga mendasarkan karyanya pada riwayat hadis. Lukisannya tentang gerbang Khaibar, misalnya, Hassan membaca sahih Bukhārī yang menyebut tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib a.s. “Saya melihat sumber Syiah dan ahlusunah,” ungkapnya.
Referensi:
[1] Anonim (7 Aban 1394). “Rowzeh va Maqtale Karbala Naghashi Mikonam.” Bezanim Biroon.
[2] Anonim (18 Aban 1396). “Hassan Roholamin: Karha-ye ghairi Ashura…” Gutbayan.
[3] Anonim (25 Shahrivar 1398). “Hassan Roholamin: Hokomati Nistam…” Tabnak.
[4] Khodabakhsh, Mohammad (12 Dei 1399). “Namayeshgah Hassan Roholamin eftetah shood”. Mehr News.