Pada masa kekhalifahan ‘Alī, perselisihan (ikhtilaf) kaum muslim meningkat. Tak ada pilihan lain bagi beliau kecuali menetapkan agenda penting pemerintahan: melawan perbedaan dan menyerukan persatuan. Meski ikhtilaf di antara suku Arab berhasil mereda sementara waktu berkat kehadiran Islam, namun sedimen permusuhan tetap eksis. Bahkan, turut memainkan peran dalam berbagai episode penting sejarah Islam.
Ikhtilaf antara ansar dan muhajirin; keluarga Hāsyim dan Bani Umayyah; serta ikhtilaf lain menyeruak pada masa kekhalifahan Imam ‘Alī. Tidak bisa disangkal, beliau mewarisi persaingan suku dan perpecahan politik. Sebelum beliau menjabat, terjadi pemberontakan rakyat terhadap Khalifah ‘Utsmān. Peristiwa itu berhasil dimanfaatkan oleh Mu’āwiyah yang menuduh ‘Alī sebagai dalang pembunuhan khalifah. Syubhat dan fitnah meluas begitu cepat. Tidak hanya orang awam, tokoh masyarakat dan beberapa figur sahabat sempat menolak berbaiat kepada Imam ‘Alī.
‘Alī bin Abī Thālib memasuki masa kekhalifahan dengan suasana penuh gejolak. Di hadapannya tersaji ikhtilaf, perpecahan, kemunafikan, dan konspirasi. Karena itu, beliau berhak berbicara tentang ikhtilaf dan persatuan umat.
Ucapan persatuan
Nasihat Sayidina ‘Alī tentang persatuan tersebar di berbagai kitab, terutama Nahj-ul-Balāghah. Dalam kitab itu dikisahkan, saat sudah menjabat sebagai khalifah, Sayidina ‘Alī kedatangan sekelompok orang Yahudi. Mereka mengkritik sikap segelintir kaum muslimin yang justru membahas pejabat pengganti nabi pasca wafatnya Rasulullah ﷺ. “Anda belum mengubur nabi Anda ketika Anda berselisih tentang dia,” kata orang Yahudi.
Sayidina ‘Alī menjawab, “Kami tidak berselisih tentang beliau. Kami berselisih (tentang apa yang kami dengar) sesudah beliau (yaitu penerusnya). Sedangkan kalian, belum kering kaki kalian setelah keluar dari sunga (Nil) ketika kalian mulai meminta kepada nabi Anda, Mūsā: Hai Musa, buatkanlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Q.S. Al-A’rāf: 138).
Begitu juga setelah terjadi peristiwa di Shiffin. Sejumlah rakyat Syam dilaporkan membangkang kekhalifahan. Sayidina ‘Alī kemudian menulis surat ke berbagai daerah menjelaskan apa yang terjadi. Beliau mengingatkan bahwa mereka memiliki agama dan dakwah yang sama, dan menegaskan:
وَ الظَّاهِرُ أَنَّ رَبَّنَا وَاحِدٌ وَ نَبِيَّنَا وَاحِدٌ وَ دَعْوَتَنَا فِي الْإِسْلَامِ وَاحِدَةٌ
Secara lahir, sesungguhnya (kita percaya kepada) Tuhan yang satu, nabi yang satu, dan seruan kita kepada Islam adalah satu.
Sayidina ‘Alī menegaskan bahwa dirinya tidak menghendaki mereka menambahkan sedikitpun dalam perkara keimanan kepada Allah dan nabi-Nya, dan mereka tidak pula menghendaki dirinya untuk menambahkan sesuatu. “Kami dan mereka adalah mitra dan sekutu dalam segala hal, kecuali kita berbeda tentang masalah darah ‘Utsmān sementara kami tidak terlibat di dalamnya.” Sayidina ‘Alī berulang kali menekankan untuk menjauhi ikhtilaf dan bersatu dalam agama, kitab, nabi, dan dakwah.
Amal persatuan
Tak hanya tausiah tentang persatuan, Sayidina ‘Alī juga memberi contoh dalam perbuatan. Sikap beliau bisa kita lihat sejak wafat Rasulullah ﷺ, masa kekhalifahan, hingga beliau meraih kesyahidan. Misalnya, beliau menjelaskan tentang apa yang terjadi pasca wafatnya nabi.
Saat itu, terjadi ikhtilaf di masyarakat tentang pelanjut nabi. Saat ‘Alī tidak sedang memikirkan soal itu, sekelompok masyarakat membaiat orang lain alih-alih dirinya. Dalam suratnya kepada Mālik Al-Asytar yang monumental, Sayidina ‘Alī menjelaskan kepada rakyat Mesir:
فَأَمْسَكْتُ [بِيَدِي] يَدِي حَتَّى رَأَيْتُ رَاجِعَةَ النَّاسِ قَدْ رَجَعَتْ عَنِ الْإِسْلَامِ يَدْعُونَ إِلَى مَحْقِ دَيْنِ مُحَمَّدٍ (ﷺ)؛ فَخَشِيتُ إِنْ لَمْ أَنْصُرِ الْإِسْلَامَ وَ أَهْلَهُ أَنْ أَرَى فِيهِ ثَلْماً أَوْ هَدْماً تَكُونُ الْمُصِيبَةُ بِهِ عَلَيَّ أَعْظَمَ مِنْ فَوْتِ وِلَايَتِكُمُ… فَنَهَضْتُ فِي تِلْكَ الْأَحْدَاثِ حَتَّى زَاحَ الْبَاطِلُ وَ زَهَقَ وَ اطْمَأَنَّ الدِّينُ وَ تَنَهْنَهَ
Maka saya menahan tangan saya (untuk membaiat) sampai saya melihat banyak orang menghindar dari Islam dan berusaha untuk menghancurkan agama Muhammad ﷺ. Saya khawatir apabila saya tidak melindungi Islam dan umatnya, lalu terjadi perpecahan dan kehancuran, hal itu merupakan pukulan yang lebih besar bagi saya daripada hilangnya kekuasaan atas Anda… maka dalam peristiwa tersebut saya bangkit hingga kebatilan dihancurkan dan lenyap, dan agama mendapatkan kedamaian dan keselamatan.
Begitu pula ketika dewan yang berisikan enam orang—yang dipilih Khalifah ‘Umar—memutuskan untuk menunjuk ‘Utsmān sebagai khalifah, Sayidina ‘Alī berkata:
لَقَدْ عَلِمْتُمْ أَنِّي أَحَقُّ النَّاسِ بِهَا مِنْ غَيْرِي، وَ وَاللَّهِ لَأُسْلِمَنَّ مَا سَلِمَتْ أُمُورُ الْمُسْلِمِينَ وَ لَمْ يَكُنْ فِيهَا جَوْرٌ إِلَّا عَلَيَّ خَاصَّةً، الْتِمَاساً لِأَجْرِ ذَلِكَ وَ فَضْلِهِ وَ زُهْداً فِيمَا تَنَافَسْتُمُوهُ مِنْ زُخْرُفِهِ وَ زِبْرِجِهِ
Tentulah kalian tahu bahwa saya yang paling berhak dari semua orang lain. Demi Allah, selama urusan kaum muslimin tinggal utuh dan tidak ada kelaliman di dalamnya kecuali atas diri saya, saya akan berdiam diri sambil mencari ganjaran untuk itu (dari Allah) dan sambil menjauh dari tarikan dan godaan yang kalian perebutkan.
Ibnu Abīl-Hadīd, seorang ulama muktazilah, dalam syarah Nahj-ul-Balāghah menulis jika sebelum berangkat ke Basrah, ‘Alī menyampaikan, “Pasca (wafat) nabi, kaum Quraisy mengambil hak kami. Saya melihat bahwa bersabar dalam perkara ini jauh lebih baik daripada terpecah belahnya kaum muslimin.”
Artikel ini merupakan ringkasan tulisan Ayatullah Muhammad Vaez-Zadeh Khorasani dengan mengutip riwayat Nahj-ul-Balāghah menurut naskah Dr. Subhī Shālih, seorang cendikiawan ahlusunah asal Lebanon.