Saat berhenti sejenak dalam sebuah perjalanan di luar kota, saya dan rombongan melakukan salat berjemaah. Ini terjadi di Pulau Dewa sehingga kami salat secara qasar. Kebetulan posisi saya berada pada paling kanan saf. Benar-benar kebetulan, karena saya tidak meniatkan diri untuk salat di posisi paling pinggir. Kemudian salat berjemaah pun berjalan diimami oleh orang yang tahu kalau saya mengamalkan fikih Syiah. Perlu untuk diketahui, bahwa imam salat adalah salah seorang pengurus Dewan Syariah Nasional MUI.
Waktu berjalan, kami rombongan berkumpul bersama di Tanah Lot. Tanp diduga, imam salat tadi menyebut saya sebagai seorang Syiah dihadapan rekan-rekan yang bermazhab ahlusunah. Ini bukan pertama kalinya beliau memancing saya untuk berbicara mengenai Syiah. Di tempat kerja beliau, saya pernah diminta berbicara mengenai Karbala, padahal waktu itu adalah hari Isra Mikraj. Meski saya tahu slogan setiap hari adalah Asyura.
Saat berkumpul itu beliau mulai mengemukakan beberapa hal mengenai Syiah, di antaranya adalah mengenai tanah sebagai tempat sujud dan penetapan waktu Magrib dalam mazhab Syiah. Beliau bisa dikatakan paham, meski menurut saya ada beberapa yang mesti diluruskan terkait dengan Syiah. Salah satunya ketika beliau menyinggung posisi salat saya. Beliau mengatakan bahwa saya sengaja salat dipojok karena saya tidak berjemaah dan kalau saya salat di tengah maka barisan yang lain terputus!
Beliau beranggapan bahwa salat hanya berpura-pura mengikuti gerakan saja. Selama ini saya mengira kalau beliau orang yang cukup “moderat” dan tidak terlalu mempermasalahkan suni-Syiah. Tapi pendapatnya kali ini mengherankan.
Saat itu saya sudah mengatakan bahwa saya salat berjemaah dan bertindak sebagai makmum. Tapi, bagaimana dengan rekan yang lain yang mungkin lebih percaya dengan ucapannya? Sungguh akan menjadi fitnah, bukan hanya bagi saya, tapi bagi mazhab ahlulbait. Meski tentu, fitnahan tidak akan pernah terhenti dan terus terjadi bagi Syiah.
Padahal jika seandainya saya salat munfarid (sendiri) dan hanya meniru gerakan, hal itu berarti saya harus mengamalkan secara penuh fikih yang saya yakini. Mulai dari tidak takattuf (sedekap), memakai turbah, sampai mengeraskan bacaan basmalah. Justru jika saya salat sendiri, maka itu mengganggu kekhusyukan salat saya sendiri dan mungkin jika saya belum selesai membaca surah pendek, jemaah sudah rukuk; yang jelas, sulit untuk melakukan “kepura-puraan”.
Lagi pula, sebagai seorang pengikut fatwa Ayatullah Ali Khamenei, saya akan terus mengamalkan pendapatnya dan tidak akan menentang fatwanya. Dalam risalahnya, ketika ditanya tentang salat berjemaah di belakang muslimin ahlusunah, beliau berfatwa: “Melakukan salat jemaah di belakang mereka diperbolehkan dengan didasari tujuan memelihara persatuan Islam.”
Beliau juga menegaskan: “Bila (tujuan) memelihara persatuan Islam mengharuskan itu semua, maka salat bersama pengikut mazhab ahlusunah adalah sah dan cukup meskipun dengan sujud di atas sajadah dan sebagainya. Namun, bersedekap dalam salat bersama mereka tidak diperbolehkan kecuali bila keadaan mendesak.”
Sekarang akankah saudara ahlusunah siap menjadi makmum dari imam bermazhab Syiah?