Ada cerita melegenda yang tersebar di benua kecil India. Seorang pengembara datang ke sebuah kota besar mencari perlindungan. Ketika raja mendengar kabar itu, dia menolaknya untuk masuk. Raja mengirimkan pria itu sepanci susu, beserta sebuah pesan, “Lihatlah panci ini terisi penuh dengan susu. Kami tidak memiliki tempat untuk Anda.” Pria itu, sambil tersenyum, meletakkan bunga di panci susu, lalu mengirim pesan. “Aku ingin hidup di antara kalian seperti bunga yang mengapung di atas susu dengan menyebarkan aroma cinta.” Itulah kisah pengembara bernama Lal Shahbaz Qalandar ketika memasuki kota Sehwan Sharif.[1]
Tanggal 16 Februari 2017, makam pria yang bernama lengkap Syed Muhammad Usman Marwandi itu mendapat serangan bom bunuh diri. Hampir seratus orang tewas, termasuk anak kecil dan wanita. ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan paling mematikan di Pakistan sejak tahun 2014.
Lal Shahbaz Qalandar adalah sufi, filosof, sekaligus penyair yang mengajarkan mengenai cinta dan toleransi bagi semua orang tanpa memandangan etnis, keyakinan, jenis kelamin, ataupun kasta. Jalan hidupnya merupakan bukti nyata ucapan sufi-penyair abad ke-13, Jalaluddin Rumi: masjid yang dibangun di hati orang-orang suci adalah tempat ibadah bagi semua orang, karena Allah bersemayam di sana.
Ribuan orang dari seluruh negeri—dengan berbagai latar belakang agama—suni, Syiah, Hindu, Kristen, Sikh, Parsi hadir memberikan penghormatan di makam Qalandar setiap Kamis malam. Mereka berpartisipasi dalam dhamaal—tarian khas sufi. Peringatan wafatnya dihadiri lebih dari setengah juta peziarah dari seluruh penjuru Pakistan. Di sana, berbagai identitas agama dirangkul.
Banyak tokoh sufi berasal dari suni; begitu juga dengan peziarah mereka juga banyak yang suni. Kalau kebanyakan pengunjung makam seperti Shahbaz Qalandar adalah suni, mengapa salafi jihadi, yang juga suni, membunuh mereka dengan kejam? ISIS merupakan campuran dari salafi, Ikhwanul Muslimin, pecahan Al-Qaeda, Jabhat al-Nusra, dan eks-Ba’athist Irak yang militan.
Kebencian yang sangat kelompok salafi terhadap sufi secara umum bisa dijelaskan seperti ini: pengikut sufi menggabungkan musik, tarian, dan tradisi lokal ke dalam praktik keislaman. Begitu juga, penerimaan mereka terhadap orang dari semua agama dan kasta; bertolak belakang dengan pemahaman kering gaya salafi. Tapi semua itu belum cukup menjelaskan tingginya kebencian mereka. Kebencian mereka sebenarnya terfokus pada pribadi Ali yang menjadi pusat dari seluruh ritual sufistik.
Intisari lagu sufi spiritual berjudul Mast Qalandar adalah “Ali da pehla number” yang berarti “Ali adalah yang pertama”. Kalimat itu jelas menyinggung perbedaan utama antara Syiah dan ahlusunah. Pengikut Syiah percaya sepupu dan menantu nabi yang bernama Ali, seharusnya menjadi pewaris pertama nabi baik dalam urusan dunia maupun spiritual. Sementara pengikut ahlusunah menerima apa yang sudah terjadi: sahabat nabi, Abu Bakar, menjadi khalifah Islam pertama.
Untuk menghindari kontroversi berkepanjangan, lirik utama diubah menjadi “Ali dum dum de andar”, atau Ali ada dalam setiap tarikan nafas. Di subbenua India, relasi Syiah, suni, dan sufi memang memiliki dinamika tersendiri. Dari Kesultanan Delhi hingga Mughal terakhir, penguasa Asia Tengah memiliki hubungan dengan Persia dengan elit Syiah sebagai posisi kunci.[2]
Meski Pakistan kerap digambarkan dengan penganut agama yang fanatik, makam Qalandar adalah sisi lain negara itu yang luput dari liputan media utama. Serangan terhadap makam Lal Shahbaz Qalandar menunjukkan bahwa kelompok radikal memandang Islam yang plural dan toleran sebagai sebuah ancaman. Bom bunuh diri menjadi cara untuk mengintimidasi dan menyebarkan ketakutan. Sedangkan media arus utama tidak peduli bahwa justru muslimlah korban terbesar dari keberadaan ISIS.
Referensi:
[1] ^ Ahmed, Dania (18 Februari 2017). “Lal Shahbaz Qalandar and Pakistan’s pluralistic history”. Al Jazeera. Diakses pada 27 Februari 2017.
[2] ^ Naqvi, Saeed (24 Februari 2017). “Carnage At Qalandar Shrine: The Shia, Sunni, Sufi Triangle”. The Citizen. Diakses pada 27 Februari 2017.