Jutaan novel romansa telah dibaca. Puluhan film komedi romantis telah ditonton. Sejumlah orang mendekatinya selama remaja. Namun Roshan Zameer, wanita asal Pakistan, tidak pernah percaya pada cinta. Dia punya teori: kebutuhan seorang wanita terhadap pria ibarat seekor ikan membutuhkan sepeda. Roshan sangat sinis terhadap cinta.

Tapi seperti adegan film murahan, dewa asmara bisa menyerang kapan dan di mana saja. Setelah bertahun-tahun bertemu anak laki-laki yang tidak cocok, Pria yang Tepat datang pada hari ulang tahun ke-28 Roshan. Tapi ada satu ganjalan kecil—Roshan berasal dari keluarga sunni dan pria itu Syiah.

Awalnya, Roshan sangat khawatir. Sekaligus penasaran dengan reaksi keluarganya. Ada kerabat di keluarga besarnya yang menikah dengan penganut agama lain. Tapi tidak ada yang berani memasuki zona Syiah. Mengumpulkan keberanian untuk mulai berbicara kepada orang tua adalah tugas terberat. Ternyata, diskusi dengan orang tua berjalan lebih lancar dari yang diduga. Akhirnya, Roshan dan pasangannya mengikat simpul. Sebuah pernikahan antara sunni dan Syiah yang manis dan siap berlayar.

Namun keberatan dan penolakan justru datang dari luar. Sekelompok orang melihat Roshan dengan vonis “kamu sudah kafir!”Teman masa kecil menghujaninya dengan pertanyaan yang mengherankan, “Apa yang akan kamu lakukan kalau anak-anakmu menjadi penganut Syiah?”

Roshan tidak habis pikir. Kenapa pilihan mazhab anaknya bisa berpengaruh pada orang lain? Menjawab pertanyaan seperti itu, Roshan dan suaminya sudah berdamai dengan kenyataan. Anak-anak mereka akan tumbuh sebagai “susyi” (suni-Syiah). Lagi pula, bagi Roshan dan suaminya yang lebih penting adalah anak-anak tumbuh menjadi manusia yang baik, sebelum menjadi seorang muslim, dan tentunya sebelum mereka memilih mazhab tertentu.

Menyelami bulan Muharam

Bagi orang luar, bayangan tentang bulan Muharam mungkin tidak menyenangkan. Wanita berpakaian serba hitam, suasana penuh duka dan suram, sekaligus memperingati tragedi mengerikan dengan detail cerita yang rumit. Bagi sebagian orang, perlu waktu untuk benar-benar meresapinya.

Tapi semua itu hanya stereotip. Perlu diingat, kalau kita sibuk melabeli orang, kita harus tahu rasanya jika kita berada di posisi itu. Percayalah, menjadi korban stereotip tidak menyenangkan. Berasal dari mazhab mayoritas dan memasuki mazhab minoritas, Roshan telah melihat gambaran itu lebih dekat.

Roshan memang tidak diharuskan pergi ke majelis duka. Mertua Roshan sangat berpikiran terbuka (open-minded). Roshan secara sukarela menghadiri majelis manapun yang dia inginkan. Tapi Roshan juga pernah melakukan kekhilafan. Suatu hari di bulan Muharam, Roshan mengenakan kurta magenta saat bekerja. Berjalannya waktu, Roshan menghindari pakaian berwarna-warni di bulan Muharam.

Harus diakui, Muharam pertama bersama mertua, Roshan merasakan kejanggalan. Roshan berada di antara mereka, tapi bukan “bagian darinya”. Terkadang Roshan merasa berbeda dan asing. Tapi seiring berjalan waktu, Roshan sadar begitulah yang dirasakan muslim Syiah sepanjang waktu; termarginalkan.

Kita cenderung mengasingkan kelompok minoritas. Kita tidak cukup toleran terhadap orang yang “berbeda”. Prasangka atas dasar etnis, agama, mazhab, atau apapun yang berbeda. Jumlah pembunuhan berencana terhadap muslim Syiah memang berkurang sejak tahun 90-an, tapi kebencian jelas tidak mereda. Ketika bulan Muharam, Roshan selalu khawatir dengan nasib suami dan mertuanya.

Ironis, Roshan baru memahami arti kata “ancaman” justru setelah menikah. Tidak ada yang bisa membuat kita paham beratnya situasi kecuali kita sendiri yang merasakan. Ada banyak teman dan kenalan Roshan yang bermazhab Syiah dan telah menerima berbagai ancaman pembunuhan.
Roshan berharap, pelaku kekerasan sektarian bisa merasakan apa yang dilalui para minoritas. Semoga itu terjadi sebelum terlambat, ketika kita sadar bahwa agama adalah urusan pribadi antara seseorang dengan Penciptanya.

Pernikahan Roshan dengan muslim Syiah tidak membuat dirinya menjadi kurang ahlusunah. Suami dan Roshan kerap berdebat tentang agama dan hal yang membedakan di antara mereka. Tapi semua mereka lakukan dengan saling menghormati. Mereka “bersepakat untuk tidak sepakat” dengan sopan dan diskusinya membawa nutrisi bagi pemikiran dan merangsang intelektualitas.

Pengalaman Roshan ini mungkin kurang menarik. Dirinya memiliki banyak teman-teman Syiah yang menikah dengan mazhab ahlusunah, atau sebaliknya. Jika ada cerita pernikahan lintas mazhab, silakan berbagi.

Referensi:

Zameer, Roshan (27 Maret 2014). “I am a Sunni and I married a Shia”. The Express Tribune.

Roshan Zameer bekerja di sebuah perusahaan farmasi lokal di Pakistan dan juga berkecimpung dalam bidang konsultasi hubungan masyarakat.

Komentar Anda?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.