Hanya karena hidup lebih dulu dari anak-anak, orang tua kerap merasa paling benar. Sikap itu diwujudkan dengan memaksa anak-anak untuk bersikap sama seperti mereka para orang dewasa; tidak lagi kekanak-kanakan. Padahal, Nabi saw. sendiri pernah berkata, “Seseorang yang memiliki anak harus memperlakukan anaknya seperti anak-anak.”[1]
Rasulullah saw. sangat mencintai anak-anak. Ada yang mengatakan, berbuat baik kepada anak-anak itu salah satu sunah terbaik dari sang nabi. Saking baiknya nabi kepada anak-anak, diriwayatkan bahwa ketika nabi melakukan perjalanan ke daerah Thaif, Nabi Muhammad saw. tidak bereaksi sama sekali kepada anak-anak yang melemparinya dengan batu.
Tapi kita sebagai orang tua justru tidak belajar dari anak-anak. Tidak belajar memahami karakter, keinginan anak-anak yang di luar kebiasaan kita ketika berinteraksi dengan orang dewasa. Dunianya anak-anak yang berusia kurang dari tujuh tahun, seperti kata Imam Jafar, adalah dunia bermain.
Imam Ali juga meminta kita untuk membebaskan anak-anak di bawah tujuh tahun untuk bermain. Malah menyuruh kita, orang-orang dewasa, untuk juga bermain bersama mereka. “Seseorang yang punya anak kecil harus berperilaku seperti anak-anak dalam mendidiknya,” kata Imam Ali.[2] Membiarkan anak-anak bermain adalah latihan penting dalam mendukung perkembangan kebebasan berkehendak dan mempercepat kreativitas anak-anak.
Hadis yang mengatakan anak kecil lahir dalam keadaan fitrah mengingatkan kita bahwa mereka memiliki koneksi dengan ilahi yang masih kuat. Beda dengan kita orang dewasa yang sudah terlalu kotor dengan dosa dan memiliki ikatan kuat dengan dunia. Anak kecil itu masih suci dan terbebas dari dosa. Dalam sebuah riwayat, nabi menjelaskan alasan mengapa beliau paling suka jika bercengkerama dengan anak-anak kecil.[3]
Pertama, anak usia dini itu suka menangis, apalagi kalau lagi merasa bersalah. Menangis itu tanda kelembutan hati sehingga anak usia dini adalah manusia yang paling lembut hatinya. Sebaliknya, orang dewasa jarang sekali menangis; entah karena hatinya keras oleh dosa atau adanya ego yang melawan untuk tidak menangis. Jadi, ketika seorang anak menangis dengan berbagai alasan, tepat bagi sang orang tua untuk introspeksi diri tentang makna tangisan mereka.
Kedua, pada umumnya anak kecil suka bermain tanah dalam berbagai bentuk. Hakikat dari permainan itu memberikan petunjuk kalau anak kecil sebenarnya mengetahui dari mana dia berasal dan ke mana ia akan kembali: tanah. Justru sebaliknya, orang tua kebanyakan melupakan asal dan tujuan hidupnya. Karenanya, jika anak kita sedang bermain tanah, baiknya jangan dilarang atau dimarahi. Momen anak bermain tanah sebaiknya menjadi saat berintrospeksi diri bahwa dari sana dan ke sanalah kita akan kembali.
Selain itu, kalau kita perhatikan seksama, jika anak kecil menginginkan sesuatu dari temannya dan keinginannya tidak terpenuhi, mereka akan berkelahi. Tapi selang beberapa menit kemudian, dengan mudah mereka akur kembali bahkan tertawa bersama. Hal penting ketiga yang perlu kita pelajari dari anak kecil adalah mereka tidak punya rasa dendam. Justru berbeda dengan para orang tua yang bisa jadi masih saling bermusuhan, meski anak-anak mereka sudah tidak saling berkelahi.
Keempat, kalau ingin memiliki sesuatu anak kecil segera ingin menghabiskannya. Misal, makanan yang secepatnya ingin dihabiskan, dengan berbagai cara: dimakan sendiri atau dibagikan kepada teman-teman. Semua itu karena mereka tidak punya perencanaan untuk menyimpan harta atau barang yang dimilikinya untuk hari esok. Akibatnya, mereka tidak pernah pelit. Seolah mereka sudah paham betul konsep tawakal dan yakin bahwa rezeki sudah dijamin oleh Allah Swt.
Kelima, anak kecil paling suka melakukan kegiatan seperti membangun atau membentuk. Tapi kalau bangunan atau gambar yang dibuat sudah jadi, mereka akan nikmati sejenak lalu dirusak kembali. Kita bisa ambil pelajaran dari kondisi itu kalau anak kecil tidak pernah diperbudak oleh materi. Mereka seolah sedang mengajarkan kepada orang-orang dewasa bahwa di dunia ini tidak ada yang kekal selain Allah Swt.
Referensi:
[1] ^ Wasâ’il asy-Syî’ah, vol.15, hal.203; Man Lâ Yahdhuruh al-Faqîh, vol.3, hal.312; Kanz al-‘Ummal, hadis 45.413)
[2] ^ Wasâ’il asy-Syî’ah, vol.5, hal.126.
[3] ^ Chatib, Munif (2012). Orang Tuanya Manusia: Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai Fitrah Setiap Anak. Kaifa. hal.45. ISBN 978-602-8994-85-9
betul, anak memberikan banyak pelajaran bagi kita.
Tapi jangan lupa juga kalau orang tua juga harus terus belajar. Itulah kenapa kelasin.com hadiar. Menjadi tempat untuk orang tua terus belajar